Sabtu, 15 September 2012

Menulis Ilmiah

PENDAHULUAN
Dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah hasil dari sebuah refleksi dan perenungan terhadap berbagai gejala alam dan fenomenanya yang diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa, Allah SWT sebagai obyek filsafat untuk mengkaji rahasia yang tersimpan di dalamnya. Menulis ilmiah dan meneliti adalah berusaha untuk membongkar rahasia kebenaran illahi yang tersimpan di dalam rahasianya melalui tanda-tanda yang sering muncul disekitar kita. Dalam langkah menentukan suatu kebenaran melalui penelitian ilmiah banyak sekali memiliki kriteria kebenarannya kita bisa menentukan sebuah kebenaran misalnya secara empiris, rasional, universal, obyektif, metodologis, temporer, dan  verifikasi.namun secara umum penelitian dilakukan juga memiliki tujuan tertentu tergantung pada apa yang mau diteliti, dan bagaimana meneliti serta apa pemecahannya. Kesemuanya ini sangatlah penting penggunaannya sehingga kita sebagai orang yang mau mengkaji sebuah kebenaran melalui filsafat ini wajib kita harus menguasai berbagai macam metodologi penelitian dalam menulis ilmiah dan lain sebagainya.
Berdasarkan pemikiran tersebut diatas maka akan dicoba membahas alur – alur jalan pikiran yang terdapat dalam sebuah penelitian yang dikaitkan dengan proses penulisan. Dalam pembahasan ini  kita tidak akan menekankan pada aspek – aspek teknik penulisan ilmiah seperti teknik analisa statistik, pengambilan contoh dan pengumpulan data melainkan pada rambu – rambu pikiran yang merupakan tema pokok sebuah proses penelitian. Tema pokok ini akan dijabarkan secara logis dan kontrol dari metode keilmuan.
Seorang yang telah menguasai tema pokok dengn baik tentu saja akan dengan mudah mengembangkan berbagai variasi dari tema pokok tersebut, seperti seorang pemain jazz melakukan improvisasi terhadap not – not musiknya. Namun harus disadari bahwa improvisasi yang baik tidak mungkin dilakukan tanpa mengenal tema pokok serta teknik – teknik dasar untuk pengungkapan secara kreatif. Bagi seorang maestro penelitian ilmiah pada hakekatnya merupakan operasionalisasi metode ilmiah dalam kegiatan keilmuan. Demikian juga penulisan ilmiah pada dasarnya merupakan argumentasi penalaran keilmuan yang dikomunikasikan lewat bahasa tulisan. Untuk itu maka mutlak diperlukan penguasaan yang baik mengenai hakikat keilmuan agar dapat melakukan penelitian dan sekaligus mengkomunikasinya secara tertulis. Tidak lagi menjadi soal dari mana dia akan mulai, sesudah itu melangkah kemana, sebab penguasaan tematis dan teknik akan menjamin sesuatu keseluruhan bentuk yang utuh. Demikian juga bagi seorang penulis ilmiah yang baik, tidak menjadi masalah apakah hipotesis ditulis langsung setelah perumusan masalah, ditempat mana akan dinyatakan postulat, asumsi atau prinsip, sebab dia tahu benar hakikat dan fungsi unsur – unsure tersebut dalam keseluruhan kedalam struktur penulisan ilmiah.
Lain dengan mereka yang belum menguasai logika penalaran ilmiah secara baik dan dengan demikian akan memperlakukan bentuk dan cara penulisan secara kaku. Bagi mereka maka materi dalam pedoman merupakan sesuatu yang tidak dapat di tawar – tawar lagi, urutan dan langkahnya merupakan harga mati, seperti pilot pesawat terbang yang menekan tombol – tombol sewaktu akan lepas landas. Lalu muncullah umpamanya keharusan – keharusan penulisan yang sebenarnya  yang satu adalah logis dan bahkan imperatif, namun dalam hal yang lain adalah tidak perlu dan kadang – kadang dipaksakan. Umpamanya karena ada keharusan mencantumkan asumsi, sedangkan dalam seluruh kerangka argumentasi keilmuan tersebut kita tidak memerlukan adanya asumsi tertentu maka pengajuan asumsi tersebut adalah tidak perlu, apalagi hal ini mengakibatkan dicantumkannya asumsi – asumsi yang tidak perlu. Bahwa untuk memilih salah satu teori dari sejumlah teori yang tersedia untuk menganalisis sebuah persoalan jelas memerlukan adanya asumsi tertentu. Pernyataan secara tersurat tentang asumsi yang dipergunakan adalah bersifat imperatif sebab dengan asumsi yang berbeda maka kita akan mempergunakan teori yang berbeda pula. Bagi seorang pembaca yang mempunyai asumsi berbeda dengan asumsi yang digunakan dalam analisis, maka hal itu berarti, bahwa ada kemungkinan besar tidak setuju dengan teori yang dipergunakan sebagai dasar argumentasi dan dengan demikian maka analisis serta konsekuensinya tidak menarik perhatiannya lagi. Sama halnya dengan pencantuman postulat dan prinsip, sekiranya perlu maka hal ini memang harus tersurat, namun jangan lalu dipaksakan dan dibuat – buat sebab yang penting bukan ada atau tidaknya atau dituliskannya dibagian mana, melainkan untuk apa serta dalam kaitan dengan argumentasi mana keberadaan mereka mempunyai makna.
Untuk itu maka dibawah ini akan dibahas struktur penulisan ilmiah yang secara logis dan kronologis mencerminkan kerangka penalaran ilmiah. Pembahasan ini ditujukan bagi mereka yang sedang menulis tesis. disertasi, laporan penelitian atau publikasih ilmiah lainnya, dengan harapan agar mereka lebih memahami logika dan arsitektur penulisan ilmiah. Dengan mengenal kerangka berpikir filsafati maka kita secara lebih mudah akan menguasai hal – hal yang sifat teknis.

PENGAJUAN MASALAH
Langkah pertama dalam suatu penelitian ilmiah adalah mengajukan masalah. Satu hal yang harus disadari bahwa pada hakekatnya suatu masalah tidak pernah berdiri sendiri dan terisolasi dari factor – factor lain. Selalu terdapat konstalasi yang merupaka latar belakang dari suatu masalah tertentu, apakah itu latabelakang ekonomis, sosial, politik, kebudayaan, atau faktor – faktor lainnya. Secara operasional suatu gejala baru dapat disebut masalah bila gejala itu terdapat dalam suatu situasi tertentu. Sebuah mobil yang dengan tenag diparkir di sebuah garasi mungkin tidak merupakan masalah, tetapi sekiranya kita melihat mobil tersebut mogok ditengah jalan protocol yang macet dan mengganggu lalu lintasan maka jelas hal ini merupakan masalah.
Suatu hal yang kelihatannya bersifat paradox, bila ditinjau secara pintas lalu, bahwa pemecahan masalah malah menimbulkan masaalh yang baru pula. Pengembangan suatu teknologi baru, umpamanya, akan menimbulkan berbagai masalah seperti bagaimana tingkat esifisiensi teknologi itu bisa dibandingkan dengan efisiensi teknologi lama. Kemudian jika sekiranya teknologi itu membutuhkan keterampilan tertentu dalam mengoperasikannnya maka hal ini menimbulkan masalah dalam penyediaan tenaga. Suatu teknologi yang sangat efisiensi disatu pihak merupakan berkah, namun dipihak lain malah menimbulkan masalah, umpamanya saja menyebakna timbulnya pengangguran. Demikianlah suatu faktor baru akan menjalin suatu hubungan sebab akibat dengan berbagai faktor yang telah ada.
Dalam konstalasi yang bersifat situasional inilah maka kita dapat mengidentifikasikannya obyek yang menjadi masalah. Identifikasih masalah merupakan suatu tahap permulaan dari penguasaan masalah dimana suatu obyek dalam suatu jalinan situasi tertentu dapat kita kenali sebagai suatu masalah. Seperti dalam contoh yang telah disebutkan terdahulu maka sebuah mobil yang mogok ditengah jalan dan menimbulkan kemacetan lalu lintas dengan cepat kita kenali sebagai masalah.
Demikian juga dalam lingkup peningkatan pemerataan kesempatan menikmati pendidikan, umpamanya, maka inovasi seperti pendidikan nonformal, segera menampakkan diri sebagai masalah. Mampukah pendidikan nonformal berperan sebagai bentuk alternatif bagi pendidikan formal ? mungkinkah pendidikan nonformal diterapkan dalam situasi sekarang ? Apakah pendidikan nonformal tidak menurunkan mutu pendidikan ? Prasayarat apakah yang harus untuk pelaksanaan pendidikan nonformal secara optimal ?
Ternyata identifikasi masalah memberikan kepada kita sejumlah pertanyaan yang banyak sekali. Dalam kegiatan ilmiah berlaku semacam asas bahwa bukan kuantitas jawabannya yang menentukan mutu keilmuan suatu penelitian melainkan kualitas jawabannya. Lebih baik sebuah penelitian yang menghasilkan dua atau tiga hipotesis yang teruji dan terandalkan  daripada sejumlah penemuan yang kurang dapat dipertanggungjawabkan. Ilmu merupakan pengetahuan ilmiah yang dikembangkan secara kumulatif dimana setiap permasalahan dipecahkan tahap demi tahap dan sedikit demi sedikit. Sering sekali kita dapatkan sebuah penelitian yang selalu merengkuh terlalu banyak permasalahan namun tidak menghasilkan satu jawaban pun yang dapat dipertanggungjawabkan. Kegiatan seperti ini merupakan perbuatan sia – sia yang harus dihindarkan. Berikan jawaban ilmiah secara meyakinkan atau biarkan pertanyaan itu tanpa jawaban, seperti apa yang dikatakan Wittgenstein, Wovon man nicht sprechen kann, daruber muss man schweigen”2.
Untuk itu permasalahan harus dibatasi ruang lingkupnya. Pembatasan masalah merupakan upaya untuk menetapkan batas – batas permasalahan dengan jelas, yang memunghkinkan kita untuk mengidentifikasikan faktor mana saja yang termasuk ke dalam lingkup permasalahan, dan faktor mana yang tidak. Sekiranya kita ingin melakukan studi perbandingkan antara pendidikan formal dan non formal umpamanya, maka ruang lingkup permasalahan itu harus dibatasi dengan mengemukakan serangkaian pertanyaan, seperti dari segi mana studi perbandingan itu akan didekati, apakah dari segi efisiensi, efektifitas, ekonomi, sosiologi, kultural atau proses belajar-mengajar.
Katakanlah kita memilih studi perbandingan dilihat dari efektivitas prestasi belajar. Efektivitas prestasi belajar ini pun selanjutnya harus kita batasi pula masalahnya, sebab kita mungkin akan meneliti efektifitas seluruh mata ajaran atau dibatasi pada beberapa mata ajaran saja. Untuk studi perbandingan ini umpamanya kita membatasi diri pada efektifitas belajar dalam empat mata ajaran yakni IPA, IPS, matematika dan bahasa Indonesia.
Namun pembatasan masalah tidak berhenti disini, sebab studi perbandingan mengenai efektifitas prestasi belajar dari empat mata pelajaran tersebut diatas bisa saja dilakukan dalam berbagai kelembagaan pendidikan. Studi perbandingan ini bisa dilakukan di SD,SMP,dan SMA atau ke berbagai lembaga lainnya. Umpama saja kita memilih SD sebagai kelembagaan yang menjadi obyek penelitian. Disini pun masalah harus dibatasi lebih lanjut dengan menetapkan dimana dan kapan penelitian akan dilakukan.
Dengan pembatasan – pembatasan ini maka focus masalah menjadi bertambah jelas yang memungkinkan kita untuk merumuskan masalah dengan baik. Perumusan masalah merupakan upaya untuk menyatakan secara tersurat pertanyaan – pertanyaan apa saja yang ingin kita carikan jawabannya. Perumusan masalah dijabarkan dari identifikasi dan pembatasan masalah atau dengan kata lain perumusan masalah merupakan pernyataan yang lengkap dan terperinci mengenai ruang lingkup permasalahan yang akan diteliti berdasarkan identifikasi- identifikasi dan pembatasan masalah.
Masalah yang dirumuskan dengan baik, berati sesudah setengah dijawab. Perumusan masalah yang baik bukan saja membantu memusatkan pikiran namun sekaligus mengarahkan juga cara berpikir kita. Umpamanya studi perbandingan antara pendidikan formal dan pendidikan non formal setelah dibatasi masalah dapat dirumuskan sebagai berikut :
  1. Dalam pelajaran IPA di SD, metode pendidikan manakah yang menghasilkan prestasi belajar yang lebih baik, formal atau non formal?
  2. Dalam mata ajaran IPS di SD, metode pendidikan manakah yang menghasilkan prestasi belajar yang lebih baik, formal atau non formal?
  3. Dalam mata pelajaran matematika di SD, metode pendidikan manakah yang menghasilkan prestasi belajar yang lebih baik, formal atau non formal?
  4. Dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia, metode pendidikan manakah yang menghasilkan prestasi belajar yang lebih baik, formal atau non formal?
Suatu masalah yang sudah dapat diidentifikasikan  dan di batasi, yang tercermin dalam pernyataan yang bersifat jelas dan spesifik, di mana untuk menemukan jawabannya kita dapat mengembangkan kerangka yang berupa kajian teoritis berdasarkan pengetahuan ilmiah yang relevan, serta memungkinkan kita untuk melakukan pengujian secara empiris terhadap kesimpulan analisis teoritis maka secara konseptual masalah tersebut sudah berhasil dirumuskan. Tanpa perumusan masalah yang spesifik maka tidak mungkin bagi kita untuk mengidentifikasikan pengetahuan-pengetahuan ilmiah yang relevan dalam membangun suatu kerangka pemikiran. Seperti diketahui metode ilmiah mengisyaratkan adanya hipotesis sebagai jawaban sementara terhadap permasalahan yang dihadapi, yang diturunkan secara deduktif dari pengetahuan ilmiah yang berhasil dikumpulkan. Lalu bagaimanakah kita akan mampu mengidentifikasikan teori–teori yang diperlukan sekiranya karakteristik masalah yang tidak diberikan ? Demikian juga dengan perumusan masalah yang baik akan membantu kita dalam menetapkan data empiris yang harus dikumpulkan. Sejak semula seorang ilmuan harus merumuskan permasalahan yang memungkinkan verifikasi yang dibatasi oleh pengalaman. Meskipun Bruder Juniper ingin melihat agama yang mengambil tempat sebagai ilmu yang eksak namun dia sadar benar bahwa yang dia tidak punya adalah laboratorium.
Setelah masalah dirumuskan dengan baik maka seorang peneliti menyatakan tujuan penelitiannya. Tujuan penelitian ini adalah pernyataan mengenai ruang lingkup dan kegiatan yang akan dilakukan berdasarkan masalah yang telah dirumuskan. Setelah itu maka dibahas kemungkinan kegunaan penelitian yang merupkan manfaat yang akan dipetik dari pemecahan masalah yang didapat dari penelitian.
Dengan demikian secara kronologis dapat kita simpulkan bahwa enam kegiatan dalam langkah pengajuan masalah sebagai mana tampak dibawah ini.
Pengajuan masalah :
1.    Latar belakang masalah
2.    Identifikasih masalah
3.    Pembatasan masalah
4.    Perumusan masalah
5.    Tujuan penelitian
6.    Kegunaan penelitian
 Perlu dikemukakan disini bahwa sebenarnya terdapat kaitan yang erat antara keenam kegiatan tersebut. Antara latar belakang masalah dan kegunaan penelitian kadang – kadang sudah terdapat kaitan yang bersifat a priori umpamanya saja bahwa hasil sebuah penelitian akan digunakan sebagai dasar bagi penyusunan kebijaksanaan secara nasional. Tentu saja jika hasil penelitian digunakan untuk kebijaksanaan yang bersifat nasional maka hal ini akan mempengaruhi empat kegiatan lainnya terutama  sekali pada proses pembatasan masalah, sebab untuk generalisasi ke tingkat nasional kita tidak mungkin melakukan inferens dari hasil penelitian yang terbatas pada satu kecamatan.
Demikian juga dengan hasil penelitian dari studi perbandingan antara pendidikan formal dan non formal ini ingin dijadikan dasar bagi kebijaksanaan untuk mengimplementasikan pendidikan non formal sebagai alternativ disamping pendidikan formal, maka masalahnya adalah harus dirumuskan dalam pernyataan yang menemukan kemungkinan tidak adanya perbedaan hasil belajar dari kedua bentuk pendidikan itu. Sekiranya kemudian ternyata dugaan kita benar maka kita mempunyai dasar – dasar ilmiah yang dapat diandalkan yang mendukung pelaksanaan kebijaksanaan tersebut. Sebaliknya jika hasil penelitian ini akan dipakai sebagai dasar untuk secara selektif memilih salah satu bentuk pendidikan yang memberikan hasil belajar yang lebih efektif maka masalahnya harus dirumuskan dalam memperbandingkan hasil belajar dari kedua bentuk pendidikan. Sekiranya dugaan kita ternyata benar bahwa umpamanya pendidikan nonformal memberikan prestasi belajar yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan pendidikan formal maka terdapat cukup alasan untuk melaksanakan kebijaksanaan yang mengganti seluruh pendidikan formal dan non formal. Untuk menguji kedua hipotesis yang berbeda ini maka diperlukan teknik analisis yang berbeda pula. Secara statistik, umpamanya, untuk menguji hipotesis pertama yang bersifat membedakan dapat dipergunakan analisis statistika yang bersifat dua arah ( two taled statistical analyisis) sedangkan untuk hipotesis kedua yang bersifat membandingkan dipergunakan analisis statistika satu arah ( one-tailed stastistical analysis).   
Ilustrasi diatas menunjukan dengan jelas bahwa keseluruhan langkah dalam kegiatan keilmuan terpadu secara utuh dalam suatu logika ilmiah. Oleh sebab itu maka yang harus benar – benar dipahami bukanlah sekadar mengetahui langkah – langkah apa yang harus dil;kaukan melainkan mengetahui dasar pikiran yang melatar belakangi langkah – langkah tersebut. Hal ini erat sekali hubungannya bila dikaitkan dengan pedoman – pedoman penulisan ilmiah yang berasal dari Eropa atau Amerika yang mempunyai tradisi keilmuan yang kuat. Bagi mereka maka format penulisan dibakukan sedemikian rupa untuk tujuan bersifat mempermudah (matter of convience ), umpamanya saja dengan secara langsung menyatakan postulat, asumsi dan prinsip setelah perumusan masalah. Bagi kita sendiri sebaiknya logika berpikir ilmiah itulah yang didahulukan dan dengan demikian maka struktur penulisannya mencerminkan alur jalan berpikir. Sekiranya postulat, asumsi dan prinsip itu dipergunakan dalam penyusunan kerangka teoritis dalam pengajuan hipotesis maka ketiga pikiran dasar tersebut sebaiknya dinyatakan dalam kajian teoritis dan bukan pada pengkajian masalah. Biasanya memang pada kajian teoritis itulah diperlukan pernyataan secara tersurat mengenai pikiran – pikiran dasar yang melandasi kerangka argumentasi kita. Namun hal ini bukan berarti bahwa pada bagian – bagian lain tidak diperlukan adanya pikiran – pikiran dasar seperti postulat, asumsi dan prinsip. Yang ingin digaris bawahi adalah jangan sampai kita terpukau oleh suatu format tanpa mengetahui hakikat dan fungsi dari format tersebut.

PENYUSUNAN KERANGKA TEORITIS
Setelah masalah berhasil dirumuskan dengan baik maka langkah kedua dalam metode ilmiah adalah mengajukan hipotesis. Hipotesis merupakan praduga sementara atau jawaban sementara terhadap permasalahan yang diajukan. Seperti diketahui dalam memecahkan berbagai masalah terdapat bermacam cara yang ditempuh manusia. Secara garis besar maka cara tersebut dapat dikategorikan pada cara ilmiah dan cara non ilmiah. Tentu saja dalam kegiatan penelitian ilmiah maka cara yang harus dipakai dalam memecahkan masalah adalah cara ilmiah. Cara ilmiah dalam menyelesaikan persoalan pada hakikatnya adalah mempergunakan pengetahuan ilmiah sebagai dasar argumentasi dalam mengkaji persoalan agar kita mendapatkan jawaban yang dapat diandalkan. Hal ini berarti bahwa dalam menghadapi permasalahan yang diajukan maka kita mempergunakan teori – teori ilmiah sebagai alat yang membantu kita dalam menemukan pemecahan.
Sekiranya masalah yang kita hadapi adalah studi perbandingan dalam prestasi belajar IPA, IPS, matematika dan Bahasa Indonesia di SD antara pendidikan formal; dan non formal maka cara ilmiah dalam memecahkan masalah ini adalah mempergunakan pengetahuan ilmuah tentang pendidikan formal, pendidikan non formal, pengajaran IPA, pengajaran IPS, pengajaran bahasa Indonesia dan pengajaranb matematika dalam memecahkan masalah tersebut. Sebagai contoh marilah kita mengambil salah satu dari keempat masalah dalam perbandingan antara pendidikan formal dan nonformal yakni tentang prestasi belajar IPA di SD. Dengan mempergunakan pengetahuan ilmiah yang relevan dengan permasalahan tersebut maka kita mulai melakukan analisis yang berupa pengkajian teoritis.
Upaya yang kita lakukan adalah mencoba mengkaji berdasarkan pengetahuan ilmiah mengenai karakteristik dari pendidikan formal dan nonformal, seperti apakah yang disebut pendidikan formal dan penidikan nonformal itu ? Bagaimana cara pendidikan dilakukan ? Apakah prasarana dan sarana yang dipergunakan ? bagaimanakah caranya mengembangkan kurikulum ? Bagaimana caranya melakukan bimbingan ? Teknik evaluasi apa yang dipergunakan ?.
Dalam upaya kedua tersebut kita mencoba mengidentifikasikan perbedaan di antara pendidikan formal dan pendidikan nonformal, sebab sekiranya terdapat perbedaan prestasi belajar IPA dalam kedua bentuk pendidikan tersebut, maka kemungkinan besar hal ini langsung atau tidak langsung terkait dengan perbedaan karakteristik antara pendidikan formal dan nonformal. Sekiranya hal ini diterima maka timbullah masalah selanjutnya : Mengapa prestasi belajar IPA di SD terpengaruh oleh perbedaan tersebut ? faktor apa saja dari pengajaran IPA di SD yang terpengaruh serta bagaimana pengaruhnya ?
Hal ini mendorong kita untuk melakukan upaya ketiga yakni mengkaji secara ilmiah mengenai hakikat IPA dan proses pengajaran IPA di SD: Apakah yang disebut IPA ? Bagaimanakah aspek ontologis, epistimologis, dan aksiologi IPA ? Bagaimanakah cara pengajaran IPA di SD ? Syarat – syarat apa yang mempengaruhi keberhasilan pengajaran IPA di SD ? Pengetahuan kita tentang hakikat IPA dan proses pengajaran IPA di SD akan memungkinkan kita untuk menganalisis bagaimana interaksi antara  faktor – faktor IPA dan pengajaran IPA dengan pendidikan formal dan nonoformal di SD. Berdasarkan teori – teori ilmiah yang ada maka kita akan sampai kepada kesimpulan : Bentuk pendidikan manakah yang akan menghasilkan prestasi belajar IPA di SD yang lebih baik ? Argumentasi manakah yang dapat kita kemukakan untuk menjelaskan hal itu ? 
Kesimpulan tersebut di atas disebut hipotesis yang secara susah payah kita turunkan dari pengetahuan ilmiah yang ada. Jadi tidak benar kalau ada orang yang menganggap bahwa seorang peneliti ilmiah boleh mengajukan hipotesis secara asal – asalan. Seperti diketahui pada hakekatnya metode ilmiah yang dapat disimpulkan ke dalam dua langkah utama yakni, pertama, pengajuan hipotesis merupakan acuan kerangka teoritis yang secara deduktif dijalin dari pengetahuan yang dapat diandalkan  dan, kedua, pengumpulan data secara empiris untuk menguji apakah apakah kenyataan sebenarnya mendukung atau menolak hipotesis tersebut. Semboyan ilmiah pada hakekatnya adalah sebuah kalimat yang berbunyi : Yakinkan secara logis dengan kerangka teoritis ilmiah dan buktikan se cara empiris dengan pengumpulan fakta yang relevan. Jadi pada hakekatnya  seorang ilmuan boleh tidak menerima hasil penelitian seorang, apapun juga hasilnya, sekiranya kerangka teoritis dalam pengajuan hipotesis, baginya tidak meyakinkan. Tahap pembuktian empiris hanyalah sekedar tahap lanjutan dari tahap pengajuan hipotesis dilakukan secara eksperimen dengan kemmpuan untuk mengontrol semua variabel dalam laboratorium maka tidak terlalu sukar untuk menafsirkan kesimpulan pengujian. Meskipun demikian ternyata bahwa hipotesis yang diajukan ditolak dan fakta menunjukan hubungan konseptual yang berbeda maka kemampuan untuk mengontrol variabel - variabel yang terlibat dalam gejala memberikan kita landasan yang kuat untuk mampu mengidentifikasih hubungan sebab akibat yang  nyata. Namun bagaimana dengan ilmu – ilmu sosial dimana hubungan antara variabel itu sangat kompleks dan disertai dengan ketidak mampuan untuk mengontrol seluruh variabel tersebut dalam eksperimen kita ? Apalagi, tentunya  metode penelitian yang mempergunakan data yang yang telah ada seperti survey, dimana data secara statitis bisa menunjukan korelasi yang nyata padahal secara konseptual tidak mempunyai hubungan kausalita.
Agar sebuah kerangka teoritis dapat disebut meyakinkan maka argumentasi yang disusun tersebut harus memenuhi beberapa syarat. Pertama, teori – teori yang dipergunakan dalam membangun kerangka berpikir tersebut harus merupakan pilihan dari sejumlah teori yang dikuasai secarah lengkap dengan mencakup perkembangan – perkembangan terbaru. Seperti diketahui dalam sebuah disiplin keilmuan kadang – kadang terdapat lebih dari satu pendekatan yang tercermin dalam berbagai teori dalam mendekati persoalan yang sama. Dalam masalah mengenai manajemen misalnya, paling tidak dikenal tiga pendekatan yang kemudian bermacam – macam teori yakni pendekatan structural/fungsional, teknik/management science dan prilaku/behavioural. Sifat menyeluruh berarti, bahwa dalam kasus seperti manajemen ini, kita harus mengetahui tiga pendekatan yang dipergunakan dalam analisis manajemen. Sekiranya kemudian kita akan memilih salah satu saja dari ketiga pendekatan ini sebagai dasar argumentasi teoritis, hal ini tidak menjadi soal asalkan kita dapat menjelaskan mengapa kita melakukan pilihan tersebut. Demikian juga kita sekiranya terdapat beberapa aliran dalam sebuah pendekatan maka harus dikemukakan alasan mengapa kita memilih aliran tertentu dan tidak aliran yang lain.
Disamping itu kita harus sadari bahwa ilmu berkembang dengan cepat dan sebuah teori yang bersifat efektif pada suatu saat mungkin ditinggalkan pada suatu saat. Oleh sebab itu maka pengetahuan yang mengenai teori – teori yang akan di pergunakan harus sudah mencakup perkembangan – perkembangan terbaru dalam bidangnya. Hal ini akan memungkinkan kita untuk berargumentasi berdasarkan teori – teori yang pada waktu itu dianggap paling representatif. Mungkin saja kita berhasil menyusun suatu kerangka argumentasi yang sangat meyakinkan dalam pengajuan hipotesis, namun sekiranya argumentasi itu di dasarkan pada teori – teori yang sudah dianggap kuno, maka sukar bagi kita meyakinkan seorang ilmuan dari bidang yang menjadi bidangnya.
Lingkup yang sifat menyeluruh dalam mencakup perkembangan – perkembangan terbaru dalam suatu disiplin keilmuan biasanya disebut the state of the art dari disiplin tersebut. Untuk dapat menyusun kerangka teoritis yang meyakinkan maka pertama – tama seorang ilmuan diminta mendemonstrasikan pengetahuannya mengenai the state of the art  dari disiplin keilmuan yang dipergunakan sebagai basis analisis dalam pengajuan hipotesisnya. Seperti disebutkan dahulu maka berdasarkan pengetahuan tentang the state of the art tersebut kita harus memilih teori – teori mana saja yang akan dipergunakan dalam analisis kita. Pemilihan ini harus didasarkan pada argumentasi yang meyakinkan tentang mengapa kita melakukan pilihan tersebut. Hal ini membawah kita bukan saja kepada pengetahuan teknis tentang teori tertentu melainkan juga pengetahuan filsafati yang melandasi teori itu.
Pengatahuan filsafati tentang suatu teori adalah pengetahuan tentang pikiran – pikiranb dasar yang melandasi teori tersebut dalam bentuk postulat. Asumsi, atau prinsip yang sering kurang mendapatkan perhatian dalam proses belajar mengajar. Pada hal untuk melakukan seleksi terhadap teori mana yang akan dipilih sebagai alat analisis maka seorang ilmuan harus mampu mengadakan evaluasi terhadap teori-teori yang ada dimana focus utama sering diletakan  pada pikiran-pikiran dasar tersebut. Pendidkan pasca sarjana ditujukan untuk mengembangkan pengetahuan bukan saja secara horizontal dalam bentuk akumulasi pengetahuan yang bersifat teknis namun sekaligus pengembangan pengetahuan secara fertikal dalam bentuk analisis, yang bersifat filsafati.
Perkuliahan fasca sarja pada hakekatnya paling tidak harus mencakup beberapa hal, mengkaji The state of The art  dari suatun disiplin keilmuwan yang mencakup seluruh perkembangan teori ke ilmuwan sampai sekarang. Kedua , Analisis filsafati dari teori-teori keilmuwan yang difokuskan kepada cara berpikir keilmuan yang mendasari pengetahuan tersebut dengan pembahasan secara ekslusif mengenai postulat, asumsi dan prinsip yang mendasarinya. Ketiga  Mampu mengidentifikasi masalah yang timbul sekitar disiplin keilmuan tersebut.
Seorang peneliti yang harus menguasai teori-teori ilmiah sebagai dasar bagi argumentasi kita dalam menyusun kerangka berpikir yang membuahkan hipotesis. Kerangka berpikir ini merupakan penjelasan sementara terhadap gejala obyek permasalahan kita. Kerangka pemikiran yang berupa penjelasan sementara in merupakan argumen kita dalam merumuskan hipotesis yang merupakan jawaban sementara terhadap permasalahan yang diajukan. Dalam studi perbandingan antara pendidikan formal dan non formal, umpanya sekiranya kita menduga bahwa prestasi belajar IPA dalam pendidikan formal akan lebih baik dari pada pendidikan non formal, maka alas an untuk dugaan tersebut harus terdapat dalam kerangka pemikiran, yang juga seperti unsur-unsur kegiatan keilmuan lainnya dituntut berbagai persyaratan agar meyakinkan criteria utama agar suatu kerangka pemikiran bisa meyakinkan sesama ilmuwan adalah alur-alur pikiran yang logis dalam membangun suatu kerangka berpikir yang membuahkan kesimpulan yang berupa hipotesis. Sering kita melihat dalam tesis atau desertasi bahwa banyak sekali kajian pustaka yang berbentuk teori-teori namun sayaangnya teori-teori ini hanya berfungsi sebagai pajangan belaka. Teori-teori ini sama sekali tidak dipergunakan sebagai premis dalam kerangka berpikir secara logis melainkan diletakan begitu saja secara sporadic. Teori-teori ini yang seharusnya merupan landasan yang kuku dalam membangun kerangka berpikir yang utuh ternyata sekedar merupakan bahan bahan yang berserakan. Kurangnya pengetahuan si peneliti tentang fungsi teori dalam penyusunan kerangka berpikir inilah merupakan kajian pustaka menjadi sering tidak efektif. Ilmu masyarakat bahwa pengetahuan ilmiah yang baru harus bersifat konsisten dengan pengetahuan ilmiah sebelumnya. Sekiranya hipotesis yang kita ajukan ternyata kemudian didukung fakta maka hipotesis yang merupakan jawaban sementara itu lalu secara sah diterima sebagai pengetahuan ilmiah. Agar pengetahuan ilmiah ini bersifat konsisten dengan pengetahuan–pengetahuan ilmiah sebelumnya maka hal ini harus tercermin dalam sturuktur logika berpikir dalam menarik kesimpulan. Untuk itu harus dipenuhi dua syarat yakni, pertama mempergunakan premis-premis yang benar. Kedua mempergunakan cara penarikan kesimpulan yang sah. Pada hakekatnya kerangka berpikir dalam pengajuan hipotesis didasarkan pada argumentasi berpikir deduktif dengan mempergunakan pengetahuan ilmiah sebagai premis-premis dasarnya.
Menggunakan pengetahuan ilmiah sebagai premis dasar dalam kerangka argumentasi akan menjamin dua hal, pertama karena kebenaran pernyataan ilmiah telah teruji lewat proses keilmuan maka kita merasa yakin bahwa kesimpulan yang ditarik merupakan jawaban yang terandalkan. Kedua, Dengan menggunakan pernyataan secara sah diakui sebagai pengetahuan ilmiah maka pengetahuan  baru yang ditarik secara deduktif akan bersifat konsisten dengan tubuh pengetahuan yang disusun.

Metodologi Penelitian 
Kalau dalam proses pengajuan hipotesis kita dituntut untuk melakukan penarikan kesimpulan secara deduktif maka dalam proses verifikasih kita dituntut untuk melakukan penarikan kesimpulan secara induktif. Proses verifikasi ditujukan kepada upaya untuk menarik kesimpulan yang bersifat umum dari fakta – fakta yang bersifat individual. Dalam verifikasi hipotesis kita mengenai prestasi belajar IPA murid SD pada pendidikan formal dan nonformal, maka tujuan proses verifikasi adalah menyimpulkan dari serangkaian data mengenai prestasi individu murid SD yang terdaftar dalam kedua bentuk pendidikan tersebut dan menyimpulkan prestasi mereka secara umum. Masalah yang dihadapi dalam proses verifikasi adalah bagaimana cara dan prosdur dalam pengumpulan dan menganalisis data agar kesimpulan  yang ditarik dapat memenuhi persyaratan berpikir induktif. Penetapan prosedur dan cara ini disebut Metodologi penelitian.
Metodologi penelitian adalah pengetahuan tentang metode – metode,  jadi metodologi penelitian adalah pengtahuan tentang berbagai metode yang dipergunakan dalam penelitian. Salah satu metode yang harus di tentukan dalam metodologi penelitian ini adalah metode penelitian. Setiap penelitian pada hakikatnya mempunyai metode penelitian masing – masing dan metode penelitian tersebut ditetapkan berdasarkan tujuan peneltitian. Oleh sebab itu maka kegiatan pertama dalam penyusunan metodologi penelitian adalah menyatakan secara lengkap dan operasional tujuan penelitian yang mencakup bukan saja variabel – variabel yang diteliti dan karakteristik hubungan yang akan diuji melainkan sekaligus juga tingkat keumuman ( level of generally ) dari kesimpulan yang akan ditarik seperti tempat, waktu, kelembagaan dan sebagainya. Berdasarkan tujuan penelitian ini maka kita akan dapat memilih metode penelitian yang tepat beserta teknik pengambilan contoh dan teknik penarikan kesimpulan yang relevan. Metode adalah prosedur atau cara yang ditempuh dalam mencapai suatu tujuan tertentu sedangkan teknik adalah cara yang spesifik dalam memecahkan masalah tertentu yang ditemui dalam melaksanakan prosedur. Jadi sebuah metode penelitian mencakup beberapa teknik yang termasuk didalamnya, umpamanya teknik pengambilan contoh, teknik pengukuran, teknik pengumpulan data dan teknik analisis data.
Pada hakikatnya proses verifikasi adalah mengumpulkan dan menganalisis data dimana kesimpulan yang ditarik kemudian dibandingkan dengan hipotesisi untuk menentukan apakah hipotesis tersebut di tolak atau diterima pada saat diajukan. Dengan demikian maka teknik – teknik yang  tergabung dalam metode penelitian harus dipilih yang bersifat cocok dengan perumusan hipotesis. Seperti disampaikan terdahulu maka umpamanya terdapat teknik analisa statistika berbeda dalam hal menemukan perbedaan antara dua variabel ( X ≠ Y ) dengan membandingkan kedua variabel untuk menemukan variabel yang lebih superior ( X>Y ). Sekiranya hipotesis kita menyatakan bahwa “Tidak terdapat perbedaan prestasi IPA di SD antara pendidikan formal dan non formal” maka teknis analisa data atau lebih atau lebih tepat lagi rumus statistika yang digunakan dalam pengajuan hipotesisnya akan berbeda dengan hipotesis yang menyatakan bahwa “ Prstasi belajar IPA di SD pada pendidikan formal adalah lebih baik dari pada pendidikan nonformal”. Oleh karena itu maka dalam teknis analisis data sering dinyatakan secara tersurat pengajuan hipotesis yang dinyatakan dalam pernyataan statistis dengan menuliskan bersama – sama baik hipotesis nol ( H0 ) maupun hgipotesis tandingan ( H1 ) beserta rumus statistikanya ( sekiranya mempergunakan statistika ) yang dipergunakan. Pengajuan hipotesis dalam kerangka teoritis cukup diekspresikan dengan hipotesis konseptual ( penelitian ) yang  dinyatakan dalam bentuk non statistika.
Dalam teknik pengunpulan data harus dinyatakan variabel yang akan dikumpulkan, sumber data darimana keterangan mengenai variabel tersebut didapatkan. Demikian juga halnya yang menyangkut teknik pengukuran, instrumen pengukuran, dan teknik mengaptkan data ( umpamanya dengan cara interview ). Sekiranya pengumpulan data memerlukan instrumen tertentu maka instrumen yang dipergunakan harus diuji dahulu sebelum dipergunakan. Pada pokoknya sebuah instrumen harus teruji mengenai keabsahan dan keandalannya.
Secara ringkas langkah – langkah dalam penyusunan metodologi penelitian mencakup kegiatan – kegiatan berikut :
Ø  Tujuan penelitian secara lengkap dan operasional dalam bentuk pernyataan yang mengidentifikasikan variabel – variabel dan karakteristik hubungan yang akan diteliti.
Ø  Tempat dan waktu penelitian dimana akan dilakukan generalisasi mengenai variabel yang diteliti.
Ø  Metode penelitian yang ditetapkan berdasarkan tujuan penelitian dan tingkat generalisasi yang diharapkan.
Ø  Teknik pengambilan contoh yang relevan dengan tujuan penelitian, tingkat keumuman dan metode penelitian.
Ø  Teknik pengumpulan data yang mencakup identifikasi variabel yang akan dikumpulkan, sumber data, teknik pengukuran, instrumen dan teknik mendapatkan data.
Ø  Teknik analisis data yang mencakup langkah – langkah dan teknik analisis yang dipergunakan yang ditetapkan berdasarkan pengajuan hipotesis nol dan hipoteisi tandingan.

HASIL PENELITIAN
Setelah perumusan masalah, pengajuan hipotesis dan penetapan metodologi penelitian maka sampailah kita kepada langkah berikutnya yakni melaporkan apa yang kita temukan berdasarkan hasil penelitian. Sebaiknya bagian ini betul – betul dipergunakan untuk menganalisis data yang tealh dikumpulkan selama penelitian untuk menarik kesimpulan penelitian. Deskripsi tentang langkah dan cara pengolahan data sebaiknya sudah diletakan dalam metodologi penelitian.
Dalam membahas hasil penelitian maka harus diingat bahwa tujuan kita adalah membandingkan kesimpulan yang ditarik dari data yang di kumpulkan dengan hipotesis yang diajukan. Secarah sistematis dan terarah maka data yang telah dikumpulkan tersebut kita olah, deskripsikan, bandingkan dan evaluasi yang kesemuanya diarahkan pada sebuah penarikan kesimpulan, apakah data tersebut menolak atau menerima hipotesis yang diajukan. Pada hakikatnya sebuah hipotesis yang diterima atau ditolak melainkan diperlengkapi dengan evaluasi mengenai kesimpulan tersebut. Mungkin saja sebuah hipotesis dikonfirmasikan oleh data yang telah berhasil dikumpulkan namun mungkin juga evaluasi kita mengenai prosedur dan pelaksanaan survey atau eksperimen yang telah dilakukan, menyebabkan kita harus agak berhati – hati dalam menafsirkan. Sebuah pernyataan ilmiah yang baik selalu mengandung tingkat kepercayaan yang dimiliki pernyataan tersebut. Tingkat kepercayaan ini bukan hanya pernyataan statistis yang secara tersurat dinyatakan dalam analisis statistika melainkan juga mencakup evaluasi secara keseluruhan mengenai prosedur dan pelaksanaan penelitian.          
Untuk melaporkan hasil penelitian maka secara singkat dan kronologis yang pertama adalah diberikan deskripsi tentang variabel yang diteliti yang diusul dengan teknik analisis yang dipergunakan. Kemudian dilaporkan hasil pengukuran dilengkapi dengan kesimpulan analisis dari data yang telah dikumpulkan. Laporan ini ditulis dalam bentuk  essai dengan kalimat – kalimat verbal yang mencakup semua pernyataan yang sepatutnya dikemukakan baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif. Penulisan data mentah dalam laporan penelitian itu harus dihindari. Deskripsi dalam bnetuk essai yang diperlengkapi dengan sarana pembantu misalnya grafik, tabel atau bagan yang berfungsi untuk lebih menjelaskan penjelasan yang terkandung dalam esai sebaiknya di hindari karena sarana – sarana visual tersebut tidak lagi bersifat membantu, melainkan sudah menggantikan proposisi – proposisi verbal yang seharusnya ada.
Langkah berikutnya adalah memberikan penafsiran terhadap kesimpulan analisis data. Kemudian hasil penafsiran ini dibandingkan dengan hipotesis tersebut ditolak atau diterima. Secara singkat maka hasil penelitian dapat dilaporkan dalam kegiatan sebagai berikut :
1.    Menyatakan variabel – variabel yang diteliti.
2.    Menyatakan teknik analisis data.
3.    Mendiskripsikan teknik analisis.
4.    Memberikan penafsiran terhadap kesimpulan analisis data.
5.    Menyimpulkan pengujian hipotesis apakah ditolak atau diterima.

KESIMPULAN 
          Langkah-langkah dalam penulisan ilmiah ini dapat dijadikan sebagai kerangka pembahasan yang lebih mendalam mengenai filsafat ilmu. Dalam penetapan masalah maka pembahasannya dapat dikaitkan dengan obyek penelitian ilmiah yang dibatasi oleh jangkauan pengalaman empiris serta kajian metafisis yang bertujuan untuk menggali hakikat realitas yang bersifat sebagaimana adanya. Sedangkan proses penyusunan hipotesis dan pengujian secara empiris dapat dikaitkan dengan epistemologi keilmuan dimana pembahasan dipusatkan pada metode ilmiah dengan berbagai aspek pemikiran yang mendasarinya seperti sumber pengetahuan, kriteria kebenaran, cara penarikan kesimpulan menurut logika tertentu dan sebagainya.













DAFTAR PUSTAKA


Suriasumantri, Jujun. Filsafat Ilmu. Sebuah Pengantar Populer. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta. 2005

Mudyahardjo, Redja. Filsafat Ilmu Pendidikan. PT Remaja Rosdakarya. Bandung. 2002

M. Budianto, Irmayanti. Realitas dan Objektivitas. Wedatama Widya Sastra. Jakarta. 2002




















STRUKTUR PENELITIAN DAN PENULISAN ILMIAH






OLEH :
1.   Iman Nurjaman ( TP )
2.   Yusri Kinur ( PEP )
3.   Lusi ( PEP )
4.   Upi ( TP )








Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta
2006



























Tidak ada komentar:

Posting Komentar