Sabtu, 15 September 2012

Filsafat Ilmu


Sarana Berpikir Ilmiah
          Sarana merupakan alat yang membantu kita dalam mencapai suatu tujuan tertentu, oleh karena itu dalam berbagai hal kita akan selalu membutuhkan sarana, begitu pula dalam berpikir. Berpikir adalah suatu proses pengolahan data yang dilakukan di dalam otak. Manusia merupakan mahluk yang dilengkapi Allah sarana berpikir. Sebenarnya, setiap orang memiliki tingkat kemampuan berpikir yang seringkali ia sendiri tidak menyadarinya. Ketika mulai menggunakan kemampuan berpikir tersebut, fakta-fakta yang sampai sekarang tidak mampu diketahuinya, lambat-laun mulai terbuka di hadapannya. Semakin dalam ia berpikir, semakin bertambahlah kemampuan berpikirnya dan hal ini mungkin sekali berlaku bagi setiap orang. Harus disadari bahwa tiap orang mempunyai kebutuhan untuk berpikir serta menggunakan akalnya semaksimal mungkin.
Pada dasarnya sarana ilmiah merupakan alat yang membatu kegiatan ilmiah dalam berbagai langkah yang harus ditempuh. Pada langkah tertentu biasanya diperlukan sarana yang tertentu pula.
Untuk melakukan suatu kegiatan ilmiah secara baik, manusia memerlukan sarana berpikir. Tersedianya sarana berpikir ini memungkinkan dilakukannya penelitian ilmiah secara teratur dan cermat. Penguasaan sarana berpikir ilmiah ini suatu hal yang bersifat imperative bagi seorang ilmuwan. Karena fungsi dari sarana ilmiah adalah untuk membantu proses metode ilmiah. Tanpa menguasai hal ini maka kegiatan ilmiah yang baik tak dapat dilakukan. 
Dalam sarana berpikir ilmiah ada dua hal yang harus diperhatikan, yaitu :
Pertama, sarana ilmiah bukan merupakan ilmu dalam pengertian bahwa sarana ilmiah itu merupakan kumpulan pengetahuan yang didapatkan berdasarkan metode ilmiah. Kedua, tujuan mempelajari sarana ilmiah adalah untuk memungkinkan kita melakukan penelaahan ilmiah secara baik, sedangkan tujuan mempelajari ilmu dimaksudkan untuk mendapatkan pengetahuan yang memungkinkan kita untuk bisa memecahkan masalah kita sehari-hari.
              Untuk dapat melakukan kegiatan berpikir ilmiah dengan baik, maka diperlukan sarana yang berupa bahasa, logika, matematika dan statistika. Kemampuan berpikir ilmiah yang baik harus didukung oleh penguasaan sarana berpikir dengan baik pula.
              Bahasa merupakan alat komunikasi verbal yang dipakai dalam seluruh proses berpikir ilmiah dimana bahasa merupakan alat berpikir dan alat komunikasi untuk menyampaikan jalan pikiran tersebut kepada orang lain. Ditinjau dari pola berpikirnya maka ilmu merupakan gabungan antara berpikir deduktif dan berpikir induktif.  Penalaran ilmiah menyadarkan diri kepada proses logika deduktif dan logika induktif. Matematika mempunyai peranan penting dalam berpikir deduktif ini, sedangkan statistika mempunyai peranan penting dalam berpikir induktif. 1

                                                                       
II. BAHASA DAN PERKEMBANGANNYA
 ASAL USUL BAHASA
1. Beberapa Teori Tradisional
            Aspek bahasa yang paling banyak dipertentangkan hingga hasil studinya pun paling tidak memuaskan, karena para penyelidik sulit mencapai kesepakatan tunggal ialah asal bahasa, bagaimana mulai asal bahasa. Ada tersedia beberapa teori tentang asal bahasa, ada yang lucu, ada yang aneh, ada yang berbau ilmiah. Pada tahun 1866, masyarakat Linguistik Perancis melarang mendiskusikan asal bahasa karena itu hanya spekulasi yang ternyata tiada artinya.
            Penyelidikan antropologi telah membuktikan bahwa kebanyakan kebudayaan primitif meyakini keterlibatan Tuhan, Dewa dalam permulaan sejarah berbahasa. Tuhanlah yang mengajarkan Nabi Adam nama-nama sebagaimana dalam kitab Kejadian sebagai berikut:
            “And Lord God having formed out of the ground all the beasts of the earth, and all the fowls of the air, brought them to Adam to see what he called them; for whatsoever Adam called any living creature the same is it is name”.
            Sebelum abad ke 18 teori-teori asal bahasa dikategorikan sebagai divine theory (berdasarkan kedewaan/kepercayaan). 
            Pada abad ke-17, Andreas Kemke, seorang ahli filologi dari Swedia menyatakan di surga Tuhan berbicara dalam bahasa Swedia, Nabi Adam berbahasa Denmark, sedangkan naga berbahasa Perancis.
Kaisar Cina pun T’ien-tzu, anak Tuhan, katanya mengajarkan bahasa pertama pada manusia.
Pada bagian akhir abad ke-18 spekulasi asal usul bahasa berpindah dari wawasan-wawasan keagamaan, mistik dan takhayul ke alam baru yang disebut dengan organic phase. Pertama dengan terbitnya Uber den Ursprung der Sprache (on the origin of language) pada tahun 1772, karya Johann Gottfried Von Herder (1744-1803),[1] yang mengemukakan bahwa bahasa tidaklah tepat mengatakan bahasa sebagai anugrah Ilahi. Menurut pendapatnya: bahasa lahir karena dorongan manusia untuk mencoba-coba berpikir. Bahasa adalah akibat hentakan yang secara insting, seperti halnya janin dalam proses kelahiran.  Teori ini bersamaan dengan mulai timbulnya teori evolusi manusia yang diprakarsai oleh Immanuel Kant (1724-18040 yang kemudian disusul oleh Charles Darwin.
Max Müler (1823-1900) memperkenalkan Dingdong theory atau disebut juga nativistic theory. Teorinya sedikit sejalan dengan yang diajukan Socrates bahwa bahasa lahir secara alamiah. Menurut teori ini manusia memiliki kemampuan insting yang istimewa untuk mengeluarkan ekspresi ujaran bagi setiap kesan (yang berarti stimulus) dari luar. Kesan yang diterima lewat indera, bagaikan pukulan pada bel hingga melahirkan ucapan yang sesuai. Kurang lebih ada empat ratus bunyi pokok yang membentuk bahasa pertama ini. Sewaktu orang primitif dahulu melihat seekor serigala, pandangannya ini menggetarkan bel yang ada pada dirinya secara insting sehingga terucapkanlah kata “wolf” (serigala). Müler  pada akhirnya menolak teorinya sendiri.
Teori lain yaitu teori Yo-he-ho. Teori ini menyimpulkan bahwa bahasa pertama lahir dalam satu kegiatan sosial. Sekelompok orang primitif dahulu bekerja sama. Seperti kalau kita mengangkat kayu, kita secara spontan bersama mengeluarkan ucapan-ucapan tertentu karena terdorong gerakan otot. Demikian juga orang primitif jaman dahulu, sewaktu bekerja tadi, pita suara mereka bergetar lalu terlahirkan ucapan –ucapan khusus untuk setiap tindakan.
Teori yang agak bertahan adalah Bow-wow theory, disebut juga Onomatopoetic atau Echoic theory. Menurut teori ini kata-kata yang pertama kali ada adalah tiruan terhadap bunyi alami seperti: nyanyian burung, suara binatang, suara guntur, hujan, angin, sungai, ombak samuderea dan sebagainya. Max Müler dengan sarkastik mengomentarinya bahwa teori ini hanya berlaku bagi kokok ayam, dan bunyi itik padahal kegiatan bahasa lebih banyak terjadi diluar kandang ternak.
Teori lainnya disebut Gesture theory, yang mengatakan bahwa isyarat mendahului ujaran. Para pendukung teori ini menunjukkan penggunaan isyarat oleh berbagai jenis binatang, dan juga sistem isyarat yang dipakai oleh orang-orang primitif. Jadi menurut teori ini bahasa lahir dari isyarat-isyarat yang bermakna. Menurut Darwin, walaupun isyarat itu bisa digunakan dalam berkomunikasi, dalam beberapa hal isyarat itu tidak dapat dipakai, umpamanya orang tidak bisa berisyarat di tempat gelap, atau kalau kedua tangan sibuk membawa sesuatu, atau kalau lawan berkomunikasi tidak melihat isyarat. Dalam keadaan demikian orang primitif harus berkomunikasi dengan isyarat lisan. Dari sinilah bahasa lisan mulai berkembang.[2]

2. Pendekatan Modern
            Manusia ini tercipta dengan perlengkapan fisik yang sangat sempurna hingga memungkinkan terlahirnya ujaran (kemampuan berbahasa).  Namun ujaran bukan hanya karena kerja organ-organ fisik tadi. Dalam proses ujaran faktor-faktor psikologis pun ada terlibat, misalnya kesan-kesan orang terhadap sesuatu mesti diungkapkan dengan simbol vokal, hingga terucapkan kata-kata, umpamanya: bahaya, ngeri, dingin, menenggelamkan, hanyut dan lain-lain.
            Dari contoh-contoh diatas Fred West menyimpulkan bahwa:
            “Speech as language, is the result of man’s ability to see phenomena symbolically and of the necessity to express his symbols” (“ujaran, seperti halnya bahasa, adalah hasil kemampuan manusia untuk melihat gejala--gejala sebagai simbol-simbol dan keinginannya untuk mengungkapkan simbol-simbol itu”).          
            Kini para ahli antropologi menyimpulkan bahwa manusia dan bahasa berkembang bersama.
            Otto Jespersen (1860-1943) melihat adanya persamaan perkembangan antara bahasa bayi dan bahasa manusia pertama dahulu. Bahasa manusia pertama hampir tak punya arti, seperti lagu saja sebagaimana ucapan-ucapan bayi. Lama kelamaan ucapan-ucapan tadi berkembang manuju kesempurnaan.
            Kalau ada persoalan lain. Apakah bahasa itu lahir karena keinginan berkomunikasi dengan anggota masyarakat sosial lain atau karena dorongan individu, yaitu faktor psikologis diatas?[3]

APAKAH BAHASA ITU?
            Yang dimaksud dengan bahasa ialah lambang bunyi yang arbitrer yang dipergunakan olah para anggota kelompok sosial untuk bekerja sama, berkomuinikasi dan mengidentifikankan diri.
            Definisi tersebut diatas perlu diperjelas dan diperinci sebagai berikut:
Pertama, bahasa adalah sebuah sistem, artinya bahasa itu bukanlah sejumlah unsur yang terkumpul secara tak keruan.  Jadi bahasa itu sistematis, artinya bahasa itu dapat diuraikan atas satuan-satuan terbatas yang berkombinasi dengan kaidah-kaidah yang dapat diramalkan; disamping itu bahasa bukan sistem yang tunggal, melainkan terdiri dari beberapa subsistem, yakni fonologi, subsistem gramatika dan subsistem leksikon.
            Kedua bahasa itu sebuah sistem lambang. Yang dimaksud dengan lambang ialah tanda yang dipergunakan oleh suatu kelompok sosial berdasarkan perjanjian, dan untuk memahaminya harus dipelajari. Tanda adalah hal atau benda yang mewakili sesuatu, atau hal yang menimbulkan reaksi yang sama bila orang menganggap (melihat, mendengar, dan sebagainya) yang diwakilinya itu. Jadi lambang adalah sejenis tanda.
            Ketiga, karena merupakan lambang dan mewakili sesuatu, bahasa itu bermakna, artinya bahasa itu berkaitan dengan segala aspek kehidupan dan alam sekitar masyarakat yang memakainya.
            Keempat, bahasa itu sistem bunyi. Apa yang kita kenal sebagai tulisan artinya sekunder, karena manusia dapat berbahasa tanpa mengenal tulisan. Beberapa jenis huruf bahkan tidak lain daripada turunan belaka dari bunyi.
            Kelima, bahasa bersifat arbitrer, artinya tak ada hubungan wajib antara satuan-satuan bahasa dengan yang dilambangkannya. Kita tidak bisa menjawab mengapa sesuatu benda dinamai pohon, sedangkan oleh kelompok sosial lain disebut wit, atau syajar atau arbre. Walaupun ada unsur bahasa yang tidak terlalu arbiter yang masih sesuai dengan apa yang dilambangkan, seperti kokok, geram, gemerincing, dan  lain-lain.
Keenam, bahasa itu bersifat produktif, artinya sebagai sistem dari unsur-unsur yang jumlahnya terbatas dapat dipakai secara tidak terbatas oleh pemakainya. .
Ketujuh, bahasa bersifat unik, dalam arti tiap bahasa mempunyai sistem yang khas yang tidak harus ada dalam bahasa lain.
Kedelapan, kebalikannya, ada pula sifat-sifat bahasa yang dipunyai oleh bahasa lain, sehingga sifat-sifat itu ada yang universal, ada yang hampir universal.
Kesembilan, karena bahasa itu dipakai oleh kelompok manusia untuk bekerja sama dan berkomunikasi, dan karena kelompok manusia itu banyak ragamnya – terdiri dari laki-laki, perempuan, tua, muda; ada orang tani, ada orang kota, dan lain-lain, yang berinteraksi dalam pelbagai lapangan kehiudupan, dan mempergunakan bahasa untuk keperluan- bahasa itu mempunyai variasi-variasi.
Kesepuluh, dengan bahasa suatu kelompok sosial juga mengidentifikasikan dirinya. Kenyataan bahwa bahasa adalah lambang sosial hanyalah mengukuhkan yang telah lama – entah selama beberapa abad dikenal orang Melayu dengan pepatah “Bahasa menunjukkan Bangsa”.[4]
Sedangkan menurut Wikipedia Indonesia, definisi bahasa dari beberapa segi adalah sebagai berikut:[5]
1.    Satu sistem, untuk mewakili benda, tindakan, gagasan dan keadaan.
2.    Satu peralatan yang digunakan untuk menyampaikan konsep riil mereka kedalam pikiran orang lain.
3.    Satu kesatuan sistem makna
4.    Satu kode yang digunakan oleh pakar linguistik untuk membedakan antara bentuk dan makna.
5.    Satu ucapan yang menepati tata bahasa yang telah ditetapkan (contoh: perkataan, kalimat dan lain-lain).
6.    Satu sistem tuturan yang akan dpart dipahami oleh masyarakat linguistik.

BAHASA SEBAGAI SARANA KOMUNIKASI DAN BUDAYA
            Bahasa pada hakikatnya mempunyai dua fungsi utama yaitu, pertama sebagai sarana komunikasi antar manusia dan kedua sebagai sarana budaya yang dapat mempersatukan kelompok manusia yang menggunakan bahasa tersebut.

Bahasa Sebagai Sarana Komunikasi
            Salah satu tokoh yang mengemukakan teori tentang bahasa sebagai alat komunikasi adalah Roman Ocipovic Jakobson. Menurut Jakobson, bahasa sebagai alat (organon) khususnya sebagai alat komunikasi memerlukan enam elemen yang saling membutuhkan. Ke-enam elemen tersebut adalah sebagai berikut :
  1. Message
Message adalah pesan yang disampaikan
  1. Emetteur
Emetteur adalah pengirim atau pihak yang mengirim pesan
  1. Recepteur.
Récepteur adalah pihak yang menerima pesan.
Pihak yang saling berkomunikasi ( emetteur dan recepteur)  disebut juga sebagai interloceteur
  1. Contact
Untuk terjadi komunikasi di antara keduanya, maka harus ada hubungan yang dilakukan, yang disebut contact, contact dapat diartikan sebagai sarana agar pesan (message) yang ingin disampaikan pengirim kepada penerima dapat ditransmisikan.
  1. Code
Code adalah sarana agar pesan tertransmisikan secara baik dan dapat saling dimengerti, code harus dapat dimengerti oleh kedua pihak. Kode bisa berupa bahasa lisan, tulisan, dan berupa bahasa isyarat. Orang yang mengirim kode disebut encoder dan orang yang menerima atau yang memecahkan kode disebut dengan decoder.
  1. Référent
Référent adalah acuan dari yang dimaksudkan oleh kode.

Masing-masing unsur komunikasi tersebut dalam prakteknya saling berhubungan satu sama lain, namun pun demikian menurut Jakobson dalam satu peristiwa komunikasi kemungkinan muncul satu atau lebih unsur yang dianggap dominan. Dominasi itulah kemudian yang melahirkan fungsi-fungsi bahasa dalam berkomunikasi. Fungsi-fungsi tersebut antara lain:
  1. Fungsi bahasa ekspresif
Yaitu jika peristiwa komunikasi didominasi oleh emetteur (pengirim). Fungsi bahasa ini akan muncul ketika pengirim banyak menceritakan tentang dirinya, mengemukakan pendapatnya dan mengutarakan pandangannya kepada penerima.
  1. Fungsi impresif atau konatif
Yaitu jika peristiwa komunikasi didominasi oleh adanya harapan agar si penerima pesan berubah atau melakukan sesuatu setelah komunikasi terjadi. Fungsi bahasa ini muncul jika dalam komunikasi terdapat kalimat perintah dan kalimat yang bersifat memberi saran kepada si penerima.
  1. Fungsi referentif
Yaitu jika peristiwa komunikasi banyak diisi oleh informasi tentang acuan. Fungsi bahasa ini muncul bila komunikasi bersifat menjelaskan sebuah peristiwa dan keadaan.
  1. Fungsi bahasa fatik
Jika penekanan komunikasi lebih diarahkan pada bagaimana sebuah komunikasi dibangun, maka hal tersebut memunculkan, biasa juga disebut fungsi sosial. Fungsi bahasa ini muncul ketika pengirim ingin memulai komunikasi, menjaga alur komunikasi dan juga untuk memutuskan komunikasi.
  1. Fungsi bahasa metalinguistik
Yaitu jika komunikasi membahas tentang penggunaan bahasa sebagai contoh dalam menjelaskan secara khusus makna sebuah kata.
  1. Fungsi bahasa puitik
Jika yang ditekankan adalah bentuk dari pesan yang ingin disampaikan maka muncul misalnya pada puisi dan karya sastra lainnya.


Bahasa Sebagai Sarana Budaya
Bahasa sebagai salah satu identitas, di mana bahasa bisa menjadi identitas kolektif etnik, tetapi bahasa bisa juga menjadi identitas yang lebih luas dari etnik yaitu bangsa. Ciri yang menonjol dari identitas bangsa Indonesia tercermin dari adanya bahasa persatuan yaitu bahasa Indonesia. Walaupun dalam perkembangannya secara historis bahasa Indonesia yang baru muncul pada tahun 1928 dalam peristiwa Sumpah Pemuda kemudian mendapat beragam pengaruh kosa kata dari berbagai bahasa, akan tetapi bahasa Indonesia memiliki akar tradisi etnik yaitu bahasa Melayu
Fenomena ini berbeda misalnya dengan Philipina yang memiliki 2 bahasa nasional yaitu bahasa Tagalog dan bahasa Inggris (Amerika), atau India yang bahasa nasionalnya adalah bahasa Inggris, atau Negara Aljazair yang bahasa nasionalnya bahasa Prancis, atau Singapura yang bahasa nasionalnya bahasa Inggris dan meninggalkan bahasa nenek moyangnya yaitu bahasa Melayu. Akar budaya kaum kolonial yang tercermin di dalam bahasanya itulah kemudian yang menjiwai negara-negara tersebut di muka yang telah mengadopsi bahasa bekas negara penjajahnya untuk dijadikan bahasa persatuan sebagai perekat etnik.
Bahasa Indonesia tentu saja memiliki karakter khusus karena dia berakar dari tradisi etnik lokal yang kemudian dimodifikasi dan diadopsi menjadi bahasa persatuan yang berfungsi sebagai perekat keberagaman etnik. Bahasa Indonesia bersifat fleksibel dan ini tampak dalam berbagai dialek misalnya bahasa Indonesia dialek Betawi, dialek Sulawesi Selatan, dialek Palembang, dialek Papua dll. Menurut Ferdinand de Saussure  hal ini adalah aspek parole dari bahasa. Bahasa Indonesia baku (ejaan yang disempurnakan / EYD) dalam konteks Saussurian disebut sebagai aspek langue. Langue-lah yang menjadi titik tekan kajian ilmu linguistik, langue merupakan fakta sosial yang artinya dia menjadi milik kolektif sistem dan berada di atas fakta individu. Parole adalah fakta individu.
Bahasa Indonesia berfungsi sebagai bahasa resmi kenegaraan, bahasa persatuan, sekaligus menjadi identitas bangsa Indonesia. Apabila Bahasa Indonesia sebagai unsur dari sistem negara pada suatu saat tidak mampu memberikan fungsinya sebagai bahasa resmi kenegaraan, bahasa persatuan, atau identitas bangsa maka akan terbayangkan adanya kegoncangan sistem sosial-budaya. Dalam peristiwa kenegaraan pasti akan terjadi kekacauan karena tidak ada bahasa kenegaraan. Semua orang akan membenarkan bahasa yang mereka gunakan sesuai etnisnya walau masing-masing berbeda bahasa. Tidak akan ada bahasa persatuan yang menjadi bahasa pengantar bagi masyarakat Indonesia yang memiliki latar belakang etnis dan bahasa beraneka macam. Tidak akan ada bahasa yang dijadikan identitas kebersamaan bahwa semua unsur itu menjadi bagian dari sistem yang bernama negara Indonesia. Inilah yang disebut sebagai disintegrasi atau distabilitas sistem negara.
Dengan mengutip pandangan dari de Saussure yang mengatakan bahwa, "de Saussure menarik garis tajam antara la langue dengan la parole. Bahasa (la langue) bersifat universal, sedangkan proses tuturan (la parole) sebagai proses temporal dan bersifat individual. Setiap individu memiliki gaya bahasa sendiri. Akan tetapi dalam analisis ilmiah tentang bahasa, kita mengabaikan perbedaan-perbedaan individual itu, kita menelaah fakta sosial yang mengikuti kaidah-kaidah umum yaitu kaidah-kaidah yang tidak tergantung kepada si penutur individual. Tanpa kaidah-kaidah umum seperti itu maka bahasa tidak akan dapat menunaikan tugas utamanya, bahasa tidak dapat dipakai sebagai media komunikasi di antara anggota-anggota masyarakatnya". Dari kutipan ini terlihat bahwa la langue yang memiliki kaidah-kaidah umum adalah fakta sosial, yang posisinya lebih tinggi dari fakta individu, bahwa "Di antara etnis dan langue terjadi hubungan timbal balik. Hubungan sosial cenderung menciptakan adanya masyarakat bahasa dan kemungkinan mencetak ciri-ciri tertentu pada la langue yang dipakai. Sebaliknya, masyarakat bahasalah yang dalam batas-batas tertentu juga bisa membentuk satuan etnis. Pada umumnya satuan etnis cukup menjelaskan tentang masyarakat bahasa". Dari kutipan tersebut, terlihat bahwa bahasa adalah ciri yang menonjol dan mudah diamati dari suatu masyarakat.
            Bahasa tertentu identik dengan masyarakat tertentu, misalnya bahasa Bali identik dengan etnis Bali atau bahasa Bugis akan identik dengan etnis Bugis. Jadi bahasa mampu menciptakan etnis. Begitu juga sebaliknya ternyata bahasa itu menjadi ada karena diciptakan oleh suatu etnis. Misalnya bahasa Indonesia itu menjadi ada karena diciptakan oleh masyarakat Indonesia, walau fondasinya adalah bahasa Melayu akan tetapi dua bahasa itu kemudian memiliki perbedaan-perbedaan. Fenomena inilah yang biasa disebut sebagai bahasa dan dinamika masyarakat. Bisa juga dikatakan bahwa bahasa sebenarnya adalah dinamika masyarakat itu sendiri.

Sekilas perkembangan kesusasteraan dalam kebudayaan Indonesia
            Dari jaman purba telah sampai kepada kita sejumlah besar hasil kesusasteraan (lebih dari 1000 buah naskah), yang dapat memberi gambaran tentang betapa tinggi nya seni sastra dewasa itu. Tidak termasuk kesusasteraan ialah prasasti-prasasti, baik yang dari batu maupun yang dari logam, meskipun diantaranya ada yang digubah dalam bahasa yang sangat indah dan dalam bentuk syair yang betul-betul berupa sastra.
            Menurut waktu perkembangannya, kesusasteraan jaman purba itu dapat dibagi menjadi kesusasteraan: jaman Mataram (sekitar abad 9 dan 10), jaman Kediri (sekitar abad 11 dan 12), jaman Majapahit I (sekitar abad 14) dan jaman Majapahit II (sekitar abad  15 dan 16). Adanya dua jaman Majapahit itu berdasarkan atas bahasa yang dipakai. Sampai dengan jaman Majapahit I bahasanya adalah bahasa Jawa kuno, dan sesudah itu adalah bahasa Jawa tengahan. Termasuk jaman Majapahit II juga adalah hasil-hasil kesusasteraan yang berkembang di Bali (jaman kerajaan Samprangan-Gelgel).
            Ditinjau dari sudut isinya, maka kesusasteraan purba itu terdiri atas; tutur (kitab keagamaan, seperti Sang Hyang Kamahayanikan), castra (kitab-kitab hokum), wiracarita (cerita kepahlawanan, seperti Mahabrata), kitab-kitab cerita lainnya yang isinya mengenai keagamaan atau kesusilaan dan kitab-kitab yang dimaksud sebagai uraian sejarah (misalnya Nagarakertagama).
            Selain hasil kesusasteraan di atas yang menjadi hasil-hasil kebudayaan Indonesia, masih banyak hasil kebudayaan-kebudayaan lain yang berkembang seperti seni lukis, tari-tarian, gamelan, wayang dll, dimana tahapan-tahapan perubahan kebudayaan dari masa ke masa lainnya memiliki ciri, corak dan sifatnya masing-masing. Terlihat juga bahwa bahasa merupakan sesuatu yang penting dalam tahapan perubahan kebudayaan tersebut. [6]


III. BAHASA SEBAGAI SARANA BERPIKIR ILMIAH
 Bahasa sebagai sarana berpikir ilmiah
            Keunikan manusia sebenarnya bukanlah terletak dari kemampuan berpikirnya melainkan terletak pada kemampuannya berbahasa. Dalam hal ini maka Ernst Cassier menyebut manusia sebagai Animal symbolicum, makhluk yang mempergunakan symbol, yang secara generic mempunyai cakupan yang lebih luas dari pada Homo sapiens yakni makhluk yang berpikir, sebab dalam berpikirnya manusia mempergunakan simbol.
            Dapat dibayangkan, jika manusia tidak memiliki kemampuan berbahasa, maka kegiatan berpikir secara sistematis dan teratur (ilmiah) tidak mungkin dapat dilakukan.
            Manusia dapat berpikir dengan baik karena dia mempunyai bahasa. Tanpa bahasa maka manusia tidak dapat berpikir secara rumit dan abstrak seperti apa yang dilakukan dalam kegiatan ilmiah. Binatang tidak diberkahi bahasa yang sempurna sebagaimana yang manusia miliki, oleh sebab itu binatang tidak dapat berpikir dengan baik dan mengakumulasikan pengetahuannya lewat proses komunikasi seperti manusia mengembangkan ilmu.
            Bahasa memungkinkan manusia berpikir secara abstrak dimana obyek-obyek faktual ditransformasikan sebagai simbol-simbol bahasa yang bersifat abstrak. Dengan adanya transformasi ini maka manusia dapat berpikir mengenai suatu obyek tertentu meskipun obyek tersebut secara faktual menjadi simbol abstrak yang diwujudkan lewat perbendaharaan kata-kata ini, dirangkaikan oleh tata bahasa untuk mengemukakan suatu jalan pemikiran atau ekspresi perasaan. Kedua aspek bahasa ini yakni aspek informatif dan emotif keduanya tercermin dalam bahasa yang kita pergunakan. Artinya, kalau kita berbicara maka pada hakikatnya informasi yang kita sampaikan mengandung unsur-unsur emotif. Demikian juga kalau kita menyampaikan perasaan maka ekspresi itu mengandung unsur-unsur informatif. [7]
            Berpikir ilmiah menurut S.D. Schafersman adalah ketika seseorang menggunakan metode ilmiah dalam mempelajari atau menggali alam semesta. Tentunya seluruh ilmuwan pasti berpikir ilmiah karena mereka memang  mempelajari alam dan menggali semesta ini dengan menggunakan metode ilmiah. Tetapi berpikir ilmiah bukan hanya dilakukan oleh ilmuwan. Setiap orang dapat “berpikir seperti ilmuwan” dengan menggunakan metode ilmiah atau yang paling penting menerapkan  konsep-konsepnya dalam mempelajari dan menggali alam ini.[8]
            Namun dalam berpikir ilmiah yang dieskpresikan dalam bentuk metode ilmiah ini penting bukan saja dalam proses penemuan pengetahuan, namun lebih penting lagi dalam mengkomunikasikan penelitian ilmiah tersebut kepada masyarakat ilmuwan.
            Menurut Jacob Bronowski, metode ilmiah yang merupakan metode yang digunakan dalam berpikir ilmiah bersifat sistematik dan eksplisit. Sifat eksplisit ini memungkinkan terjadinya komunikasi yang intensif dalam kalangan masyarakat ilmuwan. Ilmu ditemukan secara individual  namun dimanfaatkan secara sosial. Karakteristik ini mengharuskan seorang ilmuwan untuk menguasai sarana komunikasi ilmiah dengan baik yang memungkinkan komunikasi eksplisit antar ilmuwan secara intensif.[9]

Bahasa sebagai sarana komunikasi ilmiah
             Menurut Howard F. Fehr terdapat dua aspek dalam komunikasi, yaitu estetik dan bersifat mengemukakan kenyataan. Bahasa sebagai alat kenikmatan, untuk tujuan-tujuan estetis, berfungsi sebagai alat kegiatan dengan membawa pembaca untuk membangun gambaran yang dapat dinikmati oleh dirinya sendiri. Tidak terdapat kebutuhan komunikasi seperti ini untuk hubungan yang sangat tepat antara pengertian si pengarang dan si pembaca.
            Dalam membaca untuk mendapatkan pengertian si penulis, terdapat tujuan intelektual dan bukan tujuan estetik. Dalam komunikasi pemikiran keilmuan/ilmiah maka tujuan intelektual adalah satu-satunya tujuan yang diinginkan. Sehingga dapat dikatakan bahwa komunikasi ilmiah adalah komunikasi logis. Tiap teori keilmuan adalah suatu sistem kalimat yang dianggap benar dan biasa disebut hukum atau pernyataan. [10]
Seperti juga yang dikatakan oleh Kneller, bahasa dalam kehidupan manusia mempunyai fungsi simbolik, emotif dan afektif. Fungsi simbolik dari bahasa menonjol dalam komunikasi ilmiah sedangkan fungsi emotif menonjol dalam komunikasi estetik. Komunikasi dengan mempergunakan bahasa akan mengandung unsur simbolik dan emotif ini.
            Komunikasi ilmiah bertujuan untuk menyampaikan informasi yang berupa pengetahuan. Oleh sebab itu, proses komunikasi ilmiah itu harus terbebas dari unsur emotif, agar pesan yang disampaikan bisa diterima secara reproduktif, artinya identik dengan pesan yang dikirimkan. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya salah informasi., yakni suatu proses komunikasi yang mengakibatkan penyampaian informasi tidak sesuai dengan apa yang dimaksudkan, dimana suatu informasi yang berbeda akan menghasilkan proses berpikir yang berbeda pula. Maka proses komunikasi ilmiah harus bersifat jelas dan obyektif yakni terbebas dari unsur-unsur emotif.
            Berbahasa dengan jelas artinya adalah bahwa makna yang terkandung dalam kata-kata yang dipergunakan diungkapkan secara eksplisit untuk mencegah pemberikan makna yang lain. Oleh sebab itu maka dalam komunikasi ilmiah sering kali ditemukan definisi dari kata-kata yang dipergunakan (glossary).
            Berbahasa dengan jelas artinya juga mengemukakan pendapat atau jalan pemikiran secara jelas. Kalimat-kalimat dalam sebuah karya ilmiah pada dasarnya merupakan suatu pernyataan yang melambangkan suatu pengetahuan yang ingin kita komunikasikan kepada orang lain. Sebagai contoh, kalimat seperti “Logam kalau dipanaskan akan memanjang” pada hakikatnya merupakan suatu pernyataan yang mengandung pengetahuan tentang hubungan sebab akibat antara panjang logam dan kenaikan suhu.
            Sedangkan berbahasa secara obyektif artinya tanpa mengandung emosi atau sikap atau dengan perkataan lain bahasa ilmiah haruslah bersifat antiseptik dan reproduktif.
Karya ilmiah pada dasarnya merupakan kumpulan pernyataan yang mengemukakan informasi tentang pengetahuan maupun jalan pemikiran dalam mendapatkan pengetahuan itu. Untuk mampu mengkomunikasikan suatu pernyataan dengan jelas maka seseorang harus menguasai tata bahasa yang baik. Tata bahasa menurut Charlton Laird, merupakan alat dalam mempergunakan aspek logis dan kreatif dari pikiran untuk mengungkapkan arti dan emosi dengan menggunakan aturan-aturan tertentu. Penguasaan tata bahasa yang baik merupakan syarat mutlak bagi suatu komunikasi ilmiah yang benar.
Karya ilmiah juga mempunyai gaya penulisan yang pada hakikatnya merupakan usaha untuk mencoba menghindari kecenderungan yang bersifat emosional bagi kegiatan seni namun merupakan kerugian bagi kegiatan ilmiah. Oleh sebab itu gaya penulisan ilmiah, dimana tercakup di dalamnya penggunaan tata bahasa dan kata-kata, harus diusahakan sedemikian mungkin untuk menekan unsur-unsur emotif ini seminimal mungkin. Di samping itu karya ilmiah mempunyai format-format penulisan tertentu seperti cara meletakkan catatan kaki atau menyertakan daftar bacaan. Kesemuanya ini harus dikuasai dengan baik oleh seorang ilmuwan agar dapat berkomunikasi dengan sesama kaum ilmuwan secara benar.[11]

Kelemahan bahasa dalam komunikasi ilmiah
            Sebagai sarana komunikasi ilmiah maka bahasa mempunyai beberapa kekurangan. Kekurangan ini pada hakikatnya terletak pada peranan bahasa itu sendiri sebagai sarana komunikasi emotif, afektif dan simbolik. Adapun kelemahan bahasa dalam komunikasi ilmiah adalah sebagai berikut;
1.    Pada kenyataannya bahasa verbal mau tidak mau tetap mengandung ketiga unsur yang bersifat emotif, afektif dan simbolik tadi, sedangkan dalam komunikasi ilmiah sebaiknya kita mengkomunikasikan informasi tanpa kaitan emotif dan afektif.
2.    Arti kata-kata yang kurang jelas dan eksak yang membangun suatu bahasa. Sebagai contoh adalah kata yang mungkin termasuk paling popular dalam perbendaharaan bahasa Indonesia yakni “cinta”. Kata cinta ini sering dipakai dalam lingkup yang sangat luas, umpamanya dalam hubungan orangtua dan anak, kakek dan nenek, dua orang kekasih, perasaan pada tanah air atau ikatan kemanusiaan yang besar. Sukar bagi kita untuk membuat batasan yang tepat dan bersifat menyeluruh.
3.    Sifat majemuk (pluralistik) dari bahasa. Sebuah kata kadang-kadang mempunyai lebih dari arti kata yang berbeda. Disamping itu bahasa mempunyai beberapa kata yang memberikan arti kata yang sama. Sifat majemuk ini sering menimbulkan apa yang dinamakan kekacauan semantik, dimana dua orang yang berkomunikasi mempergunakan sebuah kata yang sama namun untuk pengertian yang berbeda, atau sebaliknya.
4.    Bahasa sering bersifat berputar-putar (sirkular) dalam mempergunakan kata-kata, terutama dalam memberikan definisi. Contohnya kata “data” yang diartikan sebgai “bahan yang diolah menjadi informasi”, sedangkan “informasi” diartikan sebagai “keterangan yang didapat dari data”.Tak dapat dihindari bahwa dalam memberikan definisi maka sebuah kata tergantung pada kata-kata yang lain.
5.    Konotasi yang bersifat emosional, seperti yang sudah dibicarakan sebelumnya





DAFTAR PUSTAKA

A. Chaedar Alwasilah, Linguistik Suatu Pengantar, (Bandung, Angkasa, 1983)
Djoko Kentjono, Dasar-dasar Linguistik Umum, (Depok, Fakultas Sastra UI, 1997)
http://www.id.wikipedia.org/wiki/Bahasa
http://www/freeinquiry.com/intro-to-sci.html
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu, (Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 2003)
Jujun S. Suriasumantri, Ilmu dalam Persfektif Sebuah Kumpulan Karangan tentang Hakekat Ilmu, (Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2003)
R. Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2, (Yogyakarta, Kanisius, 1973)




[1] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu, (Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 2003), h. 165-167.

[2] A.Chaedar Alwasilah, Linguistik Suatu Pengantar, (Bandung: Angkasa, 1983), h.1-4.
[3] Ibid, h.4-5
[4] Djoko Kentjono, Dasar-dasar Linguistik Umum,(Depok:Fakultas Sastra UI, 1997), h.1-4.
[5] http://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa
[6] R. Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia, (Yogya: Kanisius, 1973), h.104-105
[7] Jujun, op. cit., h. 171-173
[8] http://www/freeinquiry.com/intro-to-sci.html
[9] Ibid, h.131
[10] Jujun S. Suriasumatri, Ilmu dalam Persfektif, (Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2003), h. 218
[11] Jujun. op. cit., 181-182
[12] Ibid, h.182-187

Tidak ada komentar:

Posting Komentar