Sabtu, 15 September 2012

Memaksimalkan Potensi Anak


                 Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang paling banyak dikaruniai  kelebihan dibandingkan dengan makhluk lainnya. Manusia memiliki banyak kelebihan karena memang manusia adalah makhluk yang diciptakan untuk mengelola alam beserta isinya.
            Manusia memiliki banyak peran. Peran tersebut didasarkan karena manusia tidak hanya memiliki satu tanggung jawab, tidak hanya terhadap dirinya sendiri, lingkungannya tetapi juga terhadap pencipta-Nya.  Manusia dalam kehidupannya selalu berhubungan dengan kesuksesan atau kegagalan
            Pada masa lalu, seseorang dapat diprediksi mengalami “kegagalan atau tidak”. Pada tahun 1904, Menteri Pendidikan Perancis di Paris meminta psikolog Perancis, Alfred Binet, dan sekelompok psikolog mengembangkan suatu alat untuk menentukan siswa SD mana yang “beresiko” mengalami kegagalan, agar mereka dapat diberi perhatian khusus. Jerih payah mereka membuahkan tes kecerdasan yang pertama. Setelah sampai di Amerika, beberapa tahun kemudian segera tersebar luas. Masyarakat menjadi beranggapan ada hal yang disebut “kecerdasan”, dan bahwa kecerdasan itu dapat diukur secara obejktif dan dapat dinyatakan dalam satu angka atau “IQ”.
            Hampir delapan puluh tahun setelah dikembangkannya tes kecerdasan yang pertama tersebut, psikolog Harvard, Howard Gardnerd mempersoalkan pengertian kecerdasan yang diyakini masyarakat itu. Gardner mengatakan bahwa penafsiran kecerdasan di kebudayaan kita itu terlalu sempit.
            Menurut Howard Gardnerd, Kecerdasan adalah kemampuan untuk memecahkan atau menciptakan sesuatu yang bernilai bagi budaya tertentu.
            Definisi kecerdasan lain adalah definisi kecerdasan dari Piaget. Piaget menyatakan bahwa “Kecerdasan adalah apa yang kita gunakan pada saat kita tidak tahu apa yang harus kita lakukan. Sehingga, menurut Calvin, seseorang itu dikatakan cerdas jika ia terampil dalam menemukan jawaban yang benar untuk masalah pilihan hidup.
            Menurut Gardner, dalam bukunya “Frames of Mind (Gardner, 1983) Gardner mengemukakan sekurang-kurangnya ada tujuh kecerdasan. Belum lama berselang, Gardner menambahkan kecerdasan yang kedelapan dan membahas kemungkinan adanya kecerdasan yang kesembilan (Gardner, 1999b). Dengan teori Kecerdasan Jamak, Gardner berusaha untuk memperluas lingkup potensi manusia melampaui batas nilai IQ. Dengan serius Gardner mempertanyakan keabsahan penilaian kecerdasan individu melalui tes-tes yang dilakukan di luar lingkungan belajar alamiah dan dilakukan dengan meminta seseorang melakukan tindakan terisolasi
            Setiap anak memiliki delapan kecerdasan dan dapat mengembangkan setiap kecerdasan sampai tingkat kompetensi yang paling tinggi. Namun, mereka tampak mulai menunjukkan perilaku yang disebut Howard Gardner sebagai “kecenderungan” (atau inklinasi) terhadap kecerdasan tertentu sejak usia yang masih sangat muda. Saat menginjak usia sekolah, anak-anak mungkin telah mengembangkan cara belajar yang lebih banyak menggunakan salah satu kecerdasan dibandingkan dengan kecerdasan yang lain. Memberikan penjelasan singkat tentang kemampuan anak yang menunjukkan kecendrungan pada kecerdasan tertentu. Namun, jangan lupa bahwa kebanyakan anak mempunyai kelebihan di beberapa wilayah tertentu. Anda jangan sampai membatasi seorang anak hanya dalam satu wilayah kecerdasan. Anda akan melihat bahwa sekurang-kurangnya dua atau tiga kecerdasan akan tampak menonjol pada diri setiap anak.
Apabila perspektif yang lebih luas dan lebih pragmatis ini diterima, konsep kecerdasan tidak lagi menjadi sekedar mitos, tetapi menjadi konsep fugsional yang dapat ditemui dalam kehidupan sehari-hari dengan beragam cara. Gardner memetakan lingkup kemampuan manusia yang luas menjadi delapan kategori yang komprehensif atau delapan “kecerdasan dasar”.
            Adapun delapan kecerdasan tersebut adalah
1. Kecerdasan Linguistik
Kemampuan menggunakan kata secara efektif, baik secara lisan (misalnya, pendongeng, orator atau politisi) maupun tertulis ( misalnya, sastrawan, penulis drama, editor, wartawan). Kecerdasan ini meliputi kemampuan manipulasi tata bahasa atau struktur bahasa, fonologi atau bunyi bahasa, semantic atau makna bahasa, dimensi pragmatic atau penggunaan praktis bahasa. Peggunaan bahasa ini antara alain untuk mempengaruhi orang lain untuk melakukan tindakan tertentu), mnemonik/hafalan (penggunaan bahasa untuk mengingat informasi), dan metabahasa (penggunaan bahasa untuk membahasa masalah itu sendiri)
2. Kecerdasan Matematis Logis
Kemampuan menggunakan angka dengan baik (misalnya, ahli matematika, akuntansi pajak, ahli statistik) dan melakukan penalaran yang benar ( misalnya, sebagai ilmuwan, pemrogram komputer, atau ahli logika). Kecerdasan ini meliputi kepekaan pada pola dan hubungan logis, pernyataan dan dalil (jika-maka, sebab-akibat), fungsi logis dan abstraksi-abstraksi lain. Proses yang digunakan dalam kecerdasan matematis logis ini antara lain : kategorisasi, klarifikasi, pengambilan kesimpulan, generalisasi, penghitungan dan pengujian hipotesis
3. Kecerdasan Spasial
Kemampuan mempersepsi dunia spasila-visual secara akurat (misalnya, sebagai pemburu, pramuka, pemandu) dan mentranformasikan persepsi dunia spasial-visual (misalnya, decorator interior, arsitek, seniman, atau penemu). Kecerdasan ini meliputi kepekaan pada warna, garis, bentuk, ruang dan  hubungan antar unsure tersebut.  Kecerdasan ini meliputi kemampuan membayangkan, mempresentasikan ide secara visual atau spasial, dan mengintegrasikan diri secara tepat daalm matriks spasial.
4.Kecerdasan Kinestetis-Jasmani
Keahlian menggunakan seluruh tubuh untuk mengekspresikan ide dan perasaan (misalnya, sebagai aktor, pemain pantomim, atlet, atau penari) dan keterampilan menggunakan tangan untuk menciptakan atau mengubah sesuatu (misalnya, sebagai perajin, pematung, ahli mekanik, dokter bedah). Kecerdasan ini meliputi kemampuan-kemampuan fisik yang spesifik, sperti koordinasi, keseimbangan, keterampilan, kekuatan, kelenturan, dan kecepatan maupun kemampuan menerima rangsangan (proprioceptive) dan hal yang berkaitan dengan sentuhan (tactile dan haptic)
5. Kecerdasan Musikal
Kemampuan menangani bentuk-bentuk musical, dengan cara mempersepsi (misalnya sebagai poenikmat musik), membedakan (misalnya, sebagai kritikus musik), mengubah (misalnya, sebagai komposer), dan mengekspresikan (misalnya, sbagai penyanyi). Kecerdasan ini meliputi kepekaan pada irama, pola titinada atau melodi dan warna nada atau suara suatu lagu. Orang dapat memiliki pemahaman musik figural atau “atas-bawah” (global, intuitif), pemahaman formal atau “bawah-atas” ( analitik, teknis) atau keduanya.
6. Kecerdasan Interpersonal
Kemampuan mempersepsi dan membedakan suasana hati, maksud, motivasi serta perasaan orang lain. Kecerdasan ini meliputi kepekaan pada ekspresi wajah, suara, gerak-isyarat, kemampuan membedakan berbagai macam tanda interpersonal dan kemampuan menanggapi secara efektif tanda tersebut dengan tindakan pragamatis tertentu (misalnya, mempengaruhi kelompok orang untuk melakukan tindakan tertentu).
7.Kecerdasan Intrapersonal
Kemampuan memahami diri sendiri  dan bertindak berdasarkan pemahaman tersebut. Kecerdasan ini meliputi kemampuan memahami diri yang akurat (kekuatan dan keterbatasan diri); kesadaran akan suasana hati, maksud, motivasi temperamen dan keinginan serta kemampuan berdisiplin diri, memahami dan menghargai diri
8.Kecerdasan Naturalis
Keahlian mengenali dan mengategorikan spesies-flora dan fauna dilingkungan sekitar. Kecerdasan ini meliputi kepekaan pada fenomena alam lainnya (misalnya, formasi awan, dan gunung-gunung) dan bagi mereka yang dibesarkan dilingkungan perkotaan, kemampuan membedakan benda tak hidup, seperti mobil, sepatu karet, dan sampul kaset CD.
            Tak ada satu pun tes canggih di masyarakat dapat sueveya yang komprehensif mengenai kecerdasan majemuk anak. Apabila ada orang yang mengatakan kepada anda ia memiliki tes yang terkomputerisasi, yang hanya dalam lima belas menit dapat menunjukkan diagram batang delapan “puncak” dan “lembah” anak anda, anda harus berhati-hati dengan tes tersebut. Ini bukan berarti bahwa tes formal tidak dapat memberikan informasi mengenai kecerdasan anak. Tapi menurut Gardner satu-satunya alat terbaik menilai kecerdaasan anak, mungkin, adalah yang sudah selalu tersedia selama ini: observasi sederhana.
            Menurut Gardner, salah astu cara terbaik untuk mengenali kecerdasan anak yang paling berkembang dari anak adalah dengan mengamati “kenakalan” anak di rumah dan dikelas. Anak yang memiliki kecerdasan linguistik tinggi akan sering menyela pembicaraan, anak yang memiliki spasial tinggi akan sering mencoret-coret dan melamun, anak yang memiliki kecerdasan interpersonal yang tinggi akan sering mngobrol, dan anak yang memiliki kecerdasan kinstetis-jasmani tidak bias duduk diam, sedangkan siswa yang memiliki minat tinggi terhadap alam mungkin nanti akan membawa binatang ke kelas kedalam tanpa ijin atau memelihara binatang di rumah. Melalui kenakalan mereka secara metaforis mereka berkata, “ Inilah cara saya belajar dan apabila anda tidak mengajari saya melalui cara belajar saya yang paling alamiah, apa yang akan terjadi? Bagaimanapun juga saya tetap akan melakukannya.” Kenakalan yang berkaitan dengan kecerdasan tertentu ini, kemudian menjadi semacam seruan minta tolong – indikator diagnostik tentang bagaimana seorang anak seharusnya mendapatkan pengajaran.
            Indikator pengamatan atau observasi yang baik lainnya, yang dapat menunjukkan kecendrungan kecerdasan anak adalah cara anak menghabiskan waktu lauagn di sekolah dan di rumah. Dengan kata lain, apa yang akan anak lakukan jika tak ada yang menentukan kegiatan mereka?  apabila anda mempunyai “kegiatan bebas” di kelas atau di rumah, yakni ketika anak diperbolehkan memilih sendiri kegiatan mereka, kegiatan apa yang mereka pilih ? anak yang cenderung pada kecerdasan linguistik mungkin akan memilih menenggelamkan diri ke dalam buku-buku, anak yang cenderung pada kecerdasan interpersonal akan lebih memilih permainan kelompok dan berbicara dengan teman-temannya, kecenderungan pada kecerdasan spasial akan memilih menggambar, anak yang cenderung pada kecerdasan kinestetis-jasmani mungkin akan memilih kegiatan membangun yang melibatkan partisipasi aktif / langsung, serta anak yang memiliki kecenderungan naturalis tinggi akan lebih memilih pergi ke kendang binatang peliharaannya atau ke akuarium. Mengamati anak melakukan kegiatan yang mereka pilih sendiri dapat memberi petunjuk tentang cara  belajar mereka yang paling efektif.
            Orang tua dapat pula mengajak anak berkomunikasi. Orang tua atau guru dapat mengajak anak berkomunikasi dan menggali informasi mengenai kegiatan apa yang disukai oleh anak, sehingga orang tua dapat menyalurkan keinginan anak pada kegiatan yang sesuai. Hal ini dilakukan karena anak adalah orang yang paling tahu cara mereka belajar. Mereka sendirilah yang menggunakan dan mengalami cara belajar itu sendiri selama 24 jam per hari sejak mereka dilahirkan. Setelah memperkenalkan gagasan kecerdasan jamak pada anak, anda dapat duduk bersama mereka dan bertanya langsung kepada mereka tentang kecerdasan yang paling berkembang. Anda dapat juga mengambil foto anak anda ketika mereka sedang mengerjakan sesuatu yang berkaitan dengan kecerdasan mereka yang paling berkembang (pendekatan spasial), membuat peringkat 1-8 mulai dari kecerdasan yang paling berkembang sampai yang paling tidak berkembang (pendekatan matematika-logis, atau mempatomimkan kecerdasan yang paling berkembang (pendekatan kinestetis jasmani). Sejumlah kegiatan dapa+t bermanfaat untuk memperoleh data penilaian kecerdasan majemuk anak.
            Gardner menunjukkan bahwa setiap kecerdasan yang telah dibahas dimuka sebenarnya hanyalah “rekaan”, yakni, tidak ada kecerdasan yang berdiri sendiri dalam kehidupan sehari-hari (kecuali mungkin untuk kasus yang amat langka pada diri savant dan orang-orang yang mengalami cedera otak). Kecerdasan selalu berinteraksi satu sama lain. Untuk memasak makanan, orang harus membaca resep (linguistik), mungkin perlu membaginya menjadi setengah resep (matematis-logis), membuat menu yang dapat memuaskan seluruh anggota keluarga (interpersonal), dan juga memenuhi selera dirinya sendiri (intrapersonal). Ketika seorang anak bermain bola kaki, ia membutuhkan kecerdasan kinestetis-jasmani (berlari, menendang atau menangkap bola), kecerdasan spasial (mengorientasikan diri di lapangan tempat bermain dan mengantisipasi lintasan bola yang melayang), dan kecerdasan linguistik dan interpersonal (agar dapat mengutarakan argumen dengan benar ketika melakukan protes kepada wasit). Hal ini menunjukkan, anak dapat melakukan beberapa aktivitas yang berbeda dalam satu waktu yang menggunakan beberapa kecerdasan. Misalnya anak dapat mengerjakan tugas dengan menggunakan komputer sambil mendengarkan musik dan menonton televisi.
            Anak dilahirkan dengan membawa berbagai kecerdasan, tetapi kecerdasan yang dimiliki anak akan berkembang tidaknya tergantung dari pengarahan orang tua dan lingkungan di sekitarnya. Banyak anak yang seharusnya dapat mengembangkan kecerdasannya tapi karena tidak adanya stimulus atau arahan yang benar dari orang tua dan lingkungannya maka kecerdasan anak tidak dapat berkembang. Ada sebuah cerita yang ditulis Thomas Amstrong dalam buku In Their Own Way: Discovering and Encouraging Your Child’s Multiple Intelligences (1987). Pada jaman dahulu terbetiklah sebauah kabar yang menggegerkan langit dan bumi. Kabar itu berasal dari dunia binatang. Menurut cerita, para binatang besar ingin membuat sekolah untuk para binatang kecil. Para binatang besar itu, berencana menciptakan sebuah sekolah yang didalamnya akan diajarkan mata pelajaran memanjat, terbang, berlari, berenang dan menggali.
            Anehnya, mereka tidak dapat mengambil kata sepakat tentang subjek mana yang paling penting. Mereka akhirnya memutuskan agar semua murid mengikuti seluruh mata pelajaran yang diajarkan. Jadi, setiap murid harus mengikuti mata pelajaran memanjat, terbang, berlari, berenang dan menggali.
            Sekolah pun dibuka dan menerima murid baru dari pelbagai pelosok hutan. Pada saat-saat awal dikabarkan sekolah berjalan lancar. Seluruh murid dan pengajar di sekolah itu menikmati segala kebaruan dan keceriaan. Hingga tibalah pada suatu hari yang mengubah keadaan itu.
            Tersebutlah salah satu murid bernama kelinci. Kelinci jelas adalah binatang yang piawai berlari. Ketika mengikuti kelas berenang, kelinci itu hampir tenggelam. Pengalaman mengikuti kelas berenang ternyata mengguncang batinnya. Lantaran sibuk mengurusi kelas berenang, si kelinci pun tak pernah lagi dapat berlari secepat sebelumnya.
            Setelah kasus yang menimpa kelinci, ada kejadian lain yang cukup memusingkan pengelola sekolah. Ini melanda murid lain bernama elang, jelas, elang sangat pandai terbang. Namun, ketika mengikuti kelas menggali, si elang ini tidak mampu menjalankan tugas-tugas yang diberikan kepadanya. Akhirnya, ia pun hanya mengikuti les perbaikan menggali. Les itu ternyata hanya menyita waktunya, sehingga ia pun melupakan cara terbang yang sebelumnya sangat ia kuasainya.
            Demikianlah, kesulitan demi kesulitan ternyata melanda juga kediri binatang-binatang lain, seperti bebek, burung pipit, bunglon, ular dan binatang kecil lain. Para binatang kecil itu tidak mempunyai kesempatan lagi untuk berprestasi dalam bidang keahlian mereka masing-masing. Ini lantaran mereka dipaksa melakukan hal-hal yang tidak menghargai sifat alami mereka.
            Apabila kita memperhatikan ilistrasi cerita diatas, dalam cerita tersebut banyak binatang-binatang kecil yang mempunyai keahlian tertentu yang dipaksa untuk mempelajari keahlian lain yang bukan menjadi bidang keahliannya. Adanya tuntutan untuk menguasai banyak keahlian sehingga binatang-binatang kecil tersebut lupa akan keahliannya sendiri.
            Sama halnya dengan yang terjadi di dalam pendidikan kita, sekolah, memisahkan atau memberikan identifikasi kepada para muridnya sebagai murid yang pandai di satu sisi, dan murid yang tidak pandai disisi lain. Orang tua pun memberikan stigma yang sama dengan pada anak, dimana anak akan dikatakan pintar dan bodoh daa selalu memberikan pembandingan terhadap satu sama lain.
            Menurut paradigma baru yang dibawa oleh Howard Gardner, menganggap bahwa tidak ada murid yang bodoh, setiap guru dan orang tua akan memandang para murid sebagai manusia-manusia yang memiliki potensi untuk berprestasi. Setiap orang tua dan guru akan berusaha keras membangun sugesti positif di dalam kelas dan di rumah dan kemudian memunculkan minimal satu kecerdasan yang menonjol yang dimiliki setiap murid atau anaknya.
            Pada umumnya, suasana kelas dan proses pengajaran yang diajarkan di rumah cenderung monoton dan membosankan. Hal ini dikarenakan para guru dan orang tua biasanya hanya bertumpu pada satu atau dua keceradasan dalam mengajar yaitu “cerdas berbahasa” (word smart) dan ““cerdas berlogika” (number smart). Sekarang, ada, setidaknya, delapan cara untuk mengajar. Lewat delapan cara yang bertumpu pada delapan jenis kecerdasan, seorang guru atau orang tua akan didorong untuk membuat variasi-variasi yang sangat menggairahkan dan menyenangkan dalam mengajarkan sebuah mata pelajaran.
            Apabila orang tua dan guru, mempunyai paradigma baru sesuai dengan pandangan Howard Gardner, orang tua dan guru memberikan kesempatan seluas-luasnya pada anak untuk mencari cara belajar yang sangat cocok dengan dirinya, apa pun pelajaran yang mereka pelajari, dengan sesuai kecerdasan yang dimiliki oleh anak. Menurut penelitian yang dilakukan Howard Gardner, di dalam diri setiap anak tersimpan delapan jenis kecerdasan yang siap berkembang. Berkembang tidaknya kecerdasan yang dimiliki oleh anak tergantung dari pengarahan yang dilakukan oleh orang tua. Pengarahan yang baik, tanpa mempunyai pandangan bahwa anak yang pintar itu harus anak yang hanya menguasai kecerdasan berbahasa atau cerdas berlogika dan tidak hanya memberikan ukuran dalam bentuk rangking dan nilai yang baik di sekolah, tetapi pengarahan terhadap anak dengan berlandaskan pemikiran bahwa anak mempunyai delapan kecerdasan yang siap berkembang dan kecerdasan itu tidak hanya diukur dengan angka dan prestasi di sekolah tetapi dapat dalam bidang-bidang yang lain. Berkembang tidaknya kecerdasan anak tergantung dari stimulus yang diberikan orang tua, guru dan lingkungan disekitar anak. Anak yang mempunyai kecerdasan kinestetis jasmani (misalnya olah raga), kemungkinan besar tidak akan berkembang kecerdasan kinestetis jasmaninya, ketika orang tua atau guru memaksa anak untuk cerdas dalam bidang bahasa dan matematis logis. Karena stimulus yang diberikan  pada anak hanya untuk kecerdasan bahasa dan matematis logis, dengan dasar pandangan bahwa anak yang cerdas adalah anak yang pintar secara bahasa dan matematis, sehingga anak dipaksa untuk menguasai suatu kecerdasan yang bukan menjadi domainnya. Sehingga tidak mengherankan apabila akhirnya anak tidak cerdas secara kinestetis jasmani, karena tidak adanya pengarahan dan kesempatan yang diberikan, dan juga tidak cerdas secara matematis  dan bahasa karena memang kecerdasan tersebut bukan menjadi domainnya.
            Orang tua, guru dan lingkungan perlu memberikan pengarahan dan kesempatan seluas-luasnya pada anak. Kesempatan anak untuk mencoba sesuatu harus diberikan sehingga pada akhirnya anak dapat memilih suatu kegiatan atau aktivitas yang sesuai dengan minat dan kecerdasannya sendiri.
            Selain anak diberi pengarahan, dan juga kesempatan, orang tua dan guru juga jangan sungkan untuk memberikan penguatan atau reward ketika anak dapat menunjukkan hasil yang memuaskan. Penguatan atau reward dapat berupa pujian (misalnya, “kamu hebat”, “ kamu pintar”, dll) atau berupa pelukan, sentuhan, acungan jempol  dan usapan di kepala. Reward juga dapat berupa benda berupa hadiah. Reward yang berupa penguatan positif dapat membuat anak merasa dihargai dan meningkatkan harga diri anak.
           
           

           
            

Tidak ada komentar:

Posting Komentar