PENDAHULUAN
Dalam
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah hasil dari sebuah refleksi
dan perenungan terhadap berbagai gejala alam dan fenomenanya yang diciptakan
oleh Tuhan Yang Maha Esa, Allah SWT sebagai obyek filsafat untuk mengkaji rahasia
yang tersimpan di dalamnya. Menulis ilmiah dan meneliti adalah berusaha untuk
membongkar rahasia kebenaran illahi yang tersimpan di dalam rahasianya melalui
tanda-tanda yang sering muncul disekitar kita. Dalam langkah menentukan suatu
kebenaran melalui penelitian ilmiah banyak sekali memiliki kriteria
kebenarannya kita bisa menentukan sebuah kebenaran misalnya secara empiris,
rasional, universal, obyektif, metodologis, temporer, dan verifikasi.namun secara umum penelitian
dilakukan juga memiliki tujuan tertentu tergantung pada apa yang mau diteliti,
dan bagaimana meneliti serta apa pemecahannya. Kesemuanya ini sangatlah penting
penggunaannya sehingga kita sebagai orang yang mau mengkaji sebuah kebenaran
melalui filsafat ini wajib kita harus menguasai berbagai macam metodologi
penelitian dalam menulis ilmiah dan lain sebagainya.
Berdasarkan
pemikiran tersebut diatas maka akan dicoba membahas alur – alur jalan pikiran
yang terdapat dalam sebuah penelitian yang dikaitkan dengan proses penulisan.
Dalam pembahasan ini kita tidak akan
menekankan pada aspek – aspek teknik penulisan ilmiah seperti teknik analisa
statistik, pengambilan contoh dan pengumpulan data melainkan pada rambu – rambu
pikiran yang merupakan tema pokok sebuah proses penelitian. Tema pokok ini akan
dijabarkan secara logis dan kontrol dari metode keilmuan.
Seorang yang
telah menguasai tema pokok dengn baik tentu saja akan dengan mudah
mengembangkan berbagai variasi dari tema pokok tersebut, seperti seorang pemain
jazz melakukan improvisasi terhadap not – not musiknya. Namun harus disadari
bahwa improvisasi yang baik tidak mungkin dilakukan tanpa mengenal tema pokok
serta teknik – teknik dasar untuk pengungkapan secara kreatif. Bagi seorang
maestro penelitian ilmiah pada hakekatnya merupakan operasionalisasi metode
ilmiah dalam kegiatan keilmuan. Demikian juga penulisan ilmiah pada dasarnya
merupakan argumentasi penalaran keilmuan yang dikomunikasikan lewat bahasa
tulisan. Untuk itu maka mutlak diperlukan penguasaan yang baik mengenai hakikat
keilmuan agar dapat melakukan penelitian dan sekaligus mengkomunikasinya secara
tertulis. Tidak lagi menjadi soal dari mana dia akan mulai, sesudah itu
melangkah kemana, sebab penguasaan tematis dan teknik akan menjamin sesuatu
keseluruhan bentuk yang utuh. Demikian juga bagi seorang penulis ilmiah yang
baik, tidak menjadi masalah apakah hipotesis ditulis langsung setelah perumusan
masalah, ditempat mana akan dinyatakan postulat, asumsi atau prinsip, sebab dia
tahu benar hakikat dan fungsi unsur – unsure tersebut dalam keseluruhan
kedalam struktur penulisan ilmiah.
Lain dengan
mereka yang belum menguasai logika penalaran ilmiah secara baik dan dengan
demikian akan memperlakukan bentuk dan cara penulisan secara kaku. Bagi mereka
maka materi dalam pedoman merupakan sesuatu yang tidak dapat di tawar – tawar
lagi, urutan dan langkahnya merupakan harga mati, seperti pilot pesawat terbang
yang menekan tombol – tombol sewaktu akan lepas landas. Lalu muncullah
umpamanya keharusan – keharusan penulisan yang sebenarnya yang satu adalah logis dan bahkan imperatif,
namun dalam hal yang lain adalah tidak perlu dan kadang – kadang dipaksakan.
Umpamanya karena ada keharusan mencantumkan asumsi, sedangkan dalam seluruh
kerangka argumentasi keilmuan tersebut kita tidak memerlukan adanya asumsi
tertentu maka pengajuan asumsi tersebut adalah tidak perlu, apalagi hal ini
mengakibatkan dicantumkannya asumsi – asumsi yang tidak perlu. Bahwa untuk
memilih salah satu teori dari sejumlah teori yang tersedia untuk menganalisis
sebuah persoalan jelas memerlukan adanya asumsi tertentu. Pernyataan secara
tersurat tentang asumsi yang dipergunakan adalah bersifat imperatif sebab
dengan asumsi yang berbeda maka kita akan mempergunakan teori yang berbeda
pula. Bagi seorang pembaca yang mempunyai asumsi berbeda dengan asumsi yang
digunakan dalam analisis, maka hal itu berarti, bahwa ada kemungkinan besar
tidak setuju dengan teori yang dipergunakan sebagai dasar argumentasi dan
dengan demikian maka analisis serta konsekuensinya tidak menarik perhatiannya
lagi. Sama halnya dengan pencantuman postulat dan prinsip, sekiranya perlu maka
hal ini memang harus tersurat, namun jangan lalu dipaksakan dan dibuat – buat
sebab yang penting bukan ada atau tidaknya atau dituliskannya dibagian mana,
melainkan untuk apa serta dalam kaitan dengan argumentasi mana
keberadaan mereka mempunyai makna.
Untuk itu maka
dibawah ini akan dibahas struktur penulisan ilmiah yang secara logis dan
kronologis mencerminkan kerangka penalaran ilmiah. Pembahasan ini ditujukan
bagi mereka yang sedang menulis tesis. disertasi, laporan penelitian atau
publikasih ilmiah lainnya, dengan harapan agar mereka lebih memahami logika dan
arsitektur penulisan ilmiah. Dengan mengenal kerangka berpikir filsafati maka
kita secara lebih mudah akan menguasai hal – hal yang sifat teknis.
PENGAJUAN
MASALAH
Langkah
pertama dalam suatu penelitian ilmiah adalah mengajukan masalah. Satu hal yang
harus disadari bahwa pada hakekatnya suatu masalah tidak pernah berdiri sendiri
dan terisolasi dari factor – factor lain. Selalu terdapat konstalasi yang
merupaka latar belakang dari suatu masalah tertentu, apakah itu
latabelakang ekonomis, sosial, politik, kebudayaan, atau faktor – faktor
lainnya. Secara operasional suatu gejala baru dapat disebut masalah bila gejala
itu terdapat dalam suatu situasi tertentu. Sebuah mobil yang dengan tenag
diparkir di sebuah garasi mungkin tidak merupakan masalah, tetapi sekiranya
kita melihat mobil tersebut mogok ditengah jalan protocol yang macet dan mengganggu
lalu lintasan maka jelas hal ini merupakan masalah.
Suatu hal yang
kelihatannya bersifat paradox, bila ditinjau secara pintas lalu, bahwa
pemecahan masalah malah menimbulkan masaalh yang baru pula. Pengembangan suatu
teknologi baru, umpamanya, akan menimbulkan berbagai masalah seperti bagaimana
tingkat esifisiensi teknologi itu bisa dibandingkan dengan efisiensi teknologi
lama. Kemudian jika sekiranya teknologi itu membutuhkan keterampilan tertentu
dalam mengoperasikannnya maka hal ini menimbulkan masalah dalam penyediaan
tenaga. Suatu teknologi yang sangat efisiensi disatu pihak merupakan berkah,
namun dipihak lain malah menimbulkan masalah, umpamanya saja menyebakna
timbulnya pengangguran. Demikianlah suatu faktor baru akan menjalin suatu
hubungan sebab akibat dengan berbagai faktor yang telah ada.
Dalam
konstalasi yang bersifat situasional inilah maka kita dapat
mengidentifikasikannya obyek yang menjadi masalah. Identifikasih masalah
merupakan suatu tahap permulaan dari penguasaan masalah dimana suatu obyek
dalam suatu jalinan situasi tertentu dapat kita kenali sebagai suatu masalah.
Seperti dalam contoh yang telah disebutkan terdahulu maka sebuah mobil yang
mogok ditengah jalan dan menimbulkan kemacetan lalu lintas dengan cepat kita
kenali sebagai masalah.
Demikian juga
dalam lingkup peningkatan pemerataan kesempatan menikmati pendidikan,
umpamanya, maka inovasi seperti pendidikan nonformal, segera menampakkan diri
sebagai masalah. Mampukah pendidikan nonformal berperan sebagai bentuk
alternatif bagi pendidikan formal ? mungkinkah pendidikan nonformal diterapkan
dalam situasi sekarang ? Apakah pendidikan nonformal tidak menurunkan mutu
pendidikan ? Prasayarat apakah yang harus untuk pelaksanaan pendidikan
nonformal secara optimal ?
Ternyata
identifikasi masalah memberikan kepada kita sejumlah pertanyaan yang banyak
sekali. Dalam kegiatan ilmiah berlaku semacam asas bahwa bukan kuantitas
jawabannya yang menentukan mutu keilmuan suatu penelitian melainkan kualitas
jawabannya. Lebih baik sebuah penelitian yang menghasilkan dua atau tiga
hipotesis yang teruji dan terandalkan
daripada sejumlah penemuan yang kurang dapat dipertanggungjawabkan. Ilmu
merupakan pengetahuan ilmiah yang dikembangkan secara kumulatif dimana setiap
permasalahan dipecahkan tahap demi tahap dan sedikit demi sedikit. Sering
sekali kita dapatkan sebuah penelitian yang selalu merengkuh terlalu banyak
permasalahan namun tidak menghasilkan satu jawaban pun yang dapat
dipertanggungjawabkan. Kegiatan seperti ini merupakan perbuatan sia – sia yang
harus dihindarkan. Berikan jawaban ilmiah secara meyakinkan atau biarkan
pertanyaan itu tanpa jawaban, seperti apa yang dikatakan Wittgenstein, “Wovon
man nicht sprechen kann, daruber muss man schweigen”2.
Untuk itu
permasalahan harus dibatasi ruang lingkupnya. Pembatasan masalah merupakan
upaya untuk menetapkan batas – batas permasalahan dengan jelas, yang
memunghkinkan kita untuk mengidentifikasikan faktor mana saja yang termasuk ke
dalam lingkup permasalahan, dan faktor mana yang tidak. Sekiranya kita ingin
melakukan studi perbandingkan antara pendidikan formal dan non formal
umpamanya, maka ruang lingkup permasalahan itu harus dibatasi dengan
mengemukakan serangkaian pertanyaan, seperti dari segi mana studi perbandingan
itu akan didekati, apakah dari segi efisiensi, efektifitas, ekonomi, sosiologi,
kultural atau proses belajar-mengajar.
Katakanlah
kita memilih studi perbandingan dilihat dari efektivitas prestasi belajar.
Efektivitas prestasi belajar ini pun selanjutnya harus kita batasi pula
masalahnya, sebab kita mungkin akan meneliti efektifitas seluruh mata ajaran
atau dibatasi pada beberapa mata ajaran saja. Untuk studi perbandingan ini
umpamanya kita membatasi diri pada efektifitas belajar dalam empat mata ajaran
yakni IPA, IPS, matematika dan bahasa Indonesia.
Namun
pembatasan masalah tidak berhenti disini, sebab studi perbandingan mengenai
efektifitas prestasi belajar dari empat mata pelajaran tersebut diatas bisa
saja dilakukan dalam berbagai kelembagaan pendidikan. Studi perbandingan ini
bisa dilakukan di SD,SMP,dan SMA atau ke berbagai lembaga lainnya. Umpama saja
kita memilih SD sebagai kelembagaan yang menjadi obyek penelitian. Disini pun
masalah harus dibatasi lebih lanjut dengan menetapkan dimana dan kapan
penelitian akan dilakukan.
Dengan pembatasan
– pembatasan ini maka focus masalah menjadi bertambah jelas yang memungkinkan
kita untuk merumuskan masalah dengan baik. Perumusan masalah merupakan
upaya untuk menyatakan secara tersurat pertanyaan – pertanyaan apa saja yang
ingin kita carikan jawabannya. Perumusan masalah dijabarkan dari identifikasi
dan pembatasan masalah atau dengan kata lain perumusan masalah merupakan
pernyataan yang lengkap dan terperinci mengenai ruang lingkup permasalahan yang
akan diteliti berdasarkan identifikasi- identifikasi dan pembatasan masalah.
Masalah yang
dirumuskan dengan baik, berati sesudah setengah dijawab. Perumusan masalah yang
baik bukan saja membantu memusatkan pikiran namun sekaligus mengarahkan juga
cara berpikir kita. Umpamanya studi perbandingan antara pendidikan formal dan
pendidikan non formal setelah dibatasi masalah dapat dirumuskan sebagai berikut
:
- Dalam
pelajaran IPA di SD, metode pendidikan manakah yang menghasilkan prestasi
belajar yang lebih baik, formal atau non formal?
- Dalam
mata ajaran IPS di SD, metode pendidikan manakah yang menghasilkan
prestasi belajar yang lebih baik, formal atau non formal?
- Dalam
mata pelajaran matematika di SD, metode pendidikan manakah yang
menghasilkan prestasi belajar yang lebih baik, formal atau non formal?
- Dalam
mata pelajaran Bahasa Indonesia, metode pendidikan manakah yang
menghasilkan prestasi belajar yang lebih baik, formal atau non formal?
Suatu masalah
yang sudah dapat diidentifikasikan dan di batasi, yang tercermin dalam
pernyataan yang bersifat jelas dan spesifik, di mana untuk menemukan jawabannya
kita dapat mengembangkan kerangka yang berupa kajian teoritis
berdasarkan pengetahuan ilmiah yang relevan, serta memungkinkan kita untuk
melakukan pengujian secara empiris terhadap kesimpulan analisis teoritis
maka secara konseptual masalah tersebut sudah berhasil dirumuskan. Tanpa
perumusan masalah yang spesifik maka tidak mungkin bagi kita untuk
mengidentifikasikan pengetahuan-pengetahuan ilmiah yang relevan dalam membangun
suatu kerangka pemikiran. Seperti diketahui metode ilmiah mengisyaratkan adanya
hipotesis sebagai jawaban sementara terhadap permasalahan yang dihadapi, yang
diturunkan secara deduktif dari pengetahuan ilmiah yang berhasil dikumpulkan.
Lalu bagaimanakah kita akan mampu mengidentifikasikan teori–teori yang
diperlukan sekiranya karakteristik masalah yang tidak diberikan ? Demikian juga
dengan perumusan masalah yang baik akan membantu kita dalam menetapkan data
empiris yang harus dikumpulkan. Sejak semula seorang ilmuan harus merumuskan
permasalahan yang memungkinkan verifikasi yang dibatasi oleh pengalaman.
Meskipun Bruder Juniper ingin melihat agama yang mengambil tempat
sebagai ilmu yang eksak namun dia sadar benar bahwa yang dia tidak punya adalah
laboratorium.
Setelah
masalah dirumuskan dengan baik maka seorang peneliti menyatakan tujuan
penelitiannya. Tujuan penelitian ini adalah pernyataan mengenai ruang lingkup
dan kegiatan yang akan dilakukan berdasarkan masalah yang telah dirumuskan.
Setelah itu maka dibahas kemungkinan kegunaan penelitian yang merupkan
manfaat yang akan dipetik dari pemecahan masalah yang didapat dari penelitian.
Dengan
demikian secara kronologis dapat kita simpulkan bahwa enam kegiatan dalam
langkah pengajuan masalah sebagai mana tampak dibawah ini.
Pengajuan
masalah :
1.
Latar
belakang masalah
2.
Identifikasih
masalah
3.
Pembatasan
masalah
4.
Perumusan
masalah
5.
Tujuan
penelitian
6.
Kegunaan
penelitian
Perlu dikemukakan disini bahwa sebenarnya terdapat
kaitan yang erat antara keenam kegiatan tersebut. Antara latar belakang masalah
dan kegunaan penelitian kadang – kadang sudah terdapat kaitan yang bersifat a
priori umpamanya saja bahwa hasil sebuah penelitian akan digunakan sebagai
dasar bagi penyusunan kebijaksanaan secara nasional. Tentu saja jika hasil
penelitian digunakan untuk kebijaksanaan yang bersifat nasional maka hal ini
akan mempengaruhi empat kegiatan lainnya terutama sekali pada proses pembatasan masalah, sebab
untuk generalisasi ke tingkat nasional kita tidak mungkin melakukan inferens
dari hasil penelitian yang terbatas pada satu kecamatan.
Demikian juga
dengan hasil penelitian dari studi perbandingan antara pendidikan formal dan
non formal ini ingin dijadikan dasar bagi kebijaksanaan untuk
mengimplementasikan pendidikan non formal sebagai alternativ disamping
pendidikan formal, maka masalahnya adalah harus dirumuskan dalam pernyataan
yang menemukan kemungkinan tidak adanya perbedaan hasil belajar dari kedua
bentuk pendidikan itu. Sekiranya kemudian ternyata dugaan kita benar maka kita
mempunyai dasar – dasar ilmiah yang dapat diandalkan yang mendukung pelaksanaan
kebijaksanaan tersebut. Sebaliknya jika hasil penelitian ini akan dipakai
sebagai dasar untuk secara selektif memilih salah satu bentuk pendidikan yang
memberikan hasil belajar yang lebih efektif maka masalahnya harus dirumuskan
dalam memperbandingkan hasil belajar dari kedua bentuk pendidikan. Sekiranya
dugaan kita ternyata benar bahwa umpamanya pendidikan nonformal memberikan
prestasi belajar yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan pendidikan formal
maka terdapat cukup alasan untuk melaksanakan kebijaksanaan yang mengganti
seluruh pendidikan formal dan non formal. Untuk menguji kedua hipotesis yang
berbeda ini maka diperlukan teknik analisis yang berbeda pula. Secara
statistik, umpamanya, untuk menguji hipotesis pertama yang bersifat membedakan
dapat dipergunakan analisis statistika yang bersifat dua arah ( two taled
statistical analyisis) sedangkan untuk hipotesis kedua yang bersifat
membandingkan dipergunakan analisis statistika satu arah ( one-tailed
stastistical analysis).
Ilustrasi
diatas menunjukan dengan jelas bahwa keseluruhan langkah dalam kegiatan
keilmuan terpadu secara utuh dalam suatu logika ilmiah. Oleh sebab itu maka
yang harus benar – benar dipahami bukanlah sekadar mengetahui langkah – langkah
apa yang harus dil;kaukan melainkan mengetahui dasar pikiran yang melatar
belakangi langkah – langkah tersebut. Hal ini erat sekali hubungannya bila
dikaitkan dengan pedoman – pedoman penulisan ilmiah yang berasal dari Eropa
atau Amerika yang mempunyai tradisi keilmuan yang kuat. Bagi mereka maka format
penulisan dibakukan sedemikian rupa untuk tujuan bersifat mempermudah (matter
of convience ), umpamanya saja dengan secara langsung menyatakan postulat,
asumsi dan prinsip setelah perumusan masalah. Bagi kita sendiri sebaiknya
logika berpikir ilmiah itulah yang didahulukan dan dengan demikian maka
struktur penulisannya mencerminkan alur jalan berpikir. Sekiranya postulat,
asumsi dan prinsip itu dipergunakan dalam penyusunan kerangka teoritis dalam
pengajuan hipotesis maka ketiga pikiran dasar tersebut sebaiknya dinyatakan
dalam kajian teoritis dan bukan pada pengkajian masalah. Biasanya memang pada
kajian teoritis itulah diperlukan pernyataan secara tersurat mengenai pikiran –
pikiran dasar yang melandasi kerangka argumentasi kita. Namun hal ini bukan
berarti bahwa pada bagian – bagian lain tidak diperlukan adanya pikiran –
pikiran dasar seperti postulat, asumsi dan prinsip. Yang ingin digaris bawahi
adalah jangan sampai kita terpukau oleh suatu format tanpa mengetahui hakikat
dan fungsi dari format tersebut.
PENYUSUNAN
KERANGKA TEORITIS
Setelah
masalah berhasil dirumuskan dengan baik maka langkah kedua dalam metode ilmiah
adalah mengajukan hipotesis. Hipotesis merupakan praduga sementara atau jawaban
sementara terhadap permasalahan yang diajukan. Seperti diketahui dalam
memecahkan berbagai masalah terdapat bermacam cara yang ditempuh manusia.
Secara garis besar maka cara tersebut dapat dikategorikan pada cara ilmiah dan
cara non ilmiah. Tentu saja dalam kegiatan penelitian ilmiah maka cara yang
harus dipakai dalam memecahkan masalah adalah cara ilmiah. Cara ilmiah dalam
menyelesaikan persoalan pada hakikatnya adalah mempergunakan pengetahuan ilmiah
sebagai dasar argumentasi dalam mengkaji persoalan agar kita mendapatkan
jawaban yang dapat diandalkan. Hal ini berarti bahwa dalam menghadapi
permasalahan yang diajukan maka kita mempergunakan teori – teori ilmiah sebagai
alat yang membantu kita dalam menemukan pemecahan.
Sekiranya
masalah yang kita hadapi adalah studi perbandingan dalam prestasi belajar IPA,
IPS, matematika dan Bahasa Indonesia di SD antara pendidikan formal; dan non
formal maka cara ilmiah dalam memecahkan masalah ini adalah mempergunakan
pengetahuan ilmuah tentang pendidikan formal, pendidikan non formal, pengajaran
IPA, pengajaran IPS, pengajaran bahasa Indonesia dan pengajaranb matematika
dalam memecahkan masalah tersebut. Sebagai contoh marilah kita mengambil salah
satu dari keempat masalah dalam perbandingan antara pendidikan formal dan
nonformal yakni tentang prestasi belajar IPA di SD. Dengan mempergunakan
pengetahuan ilmiah yang relevan dengan permasalahan tersebut maka kita mulai
melakukan analisis yang berupa pengkajian teoritis.
Upaya yang
kita lakukan adalah mencoba mengkaji berdasarkan pengetahuan ilmiah mengenai
karakteristik dari pendidikan formal dan nonformal, seperti apakah yang disebut
pendidikan formal dan penidikan nonformal itu ? Bagaimana cara pendidikan
dilakukan ? Apakah prasarana dan sarana yang dipergunakan ? bagaimanakah caranya
mengembangkan kurikulum ? Bagaimana caranya melakukan bimbingan ? Teknik
evaluasi apa yang dipergunakan ?.
Dalam upaya
kedua tersebut kita mencoba mengidentifikasikan perbedaan di antara pendidikan
formal dan pendidikan nonformal, sebab sekiranya terdapat perbedaan prestasi
belajar IPA dalam kedua bentuk pendidikan tersebut, maka kemungkinan besar hal
ini langsung atau tidak langsung terkait dengan perbedaan karakteristik antara
pendidikan formal dan nonformal. Sekiranya hal ini diterima maka timbullah
masalah selanjutnya : Mengapa prestasi belajar IPA di SD terpengaruh oleh
perbedaan tersebut ? faktor apa saja dari pengajaran IPA di SD yang terpengaruh
serta bagaimana pengaruhnya ?
Hal ini
mendorong kita untuk melakukan upaya ketiga yakni mengkaji secara ilmiah
mengenai hakikat IPA dan proses pengajaran IPA di SD: Apakah yang disebut IPA ?
Bagaimanakah aspek ontologis, epistimologis, dan aksiologi IPA ? Bagaimanakah
cara pengajaran IPA di SD ? Syarat – syarat apa yang mempengaruhi keberhasilan
pengajaran IPA di SD ? Pengetahuan kita tentang hakikat IPA dan proses
pengajaran IPA di SD akan memungkinkan kita untuk menganalisis bagaimana
interaksi antara faktor – faktor IPA dan
pengajaran IPA dengan pendidikan formal dan nonoformal di SD. Berdasarkan teori
– teori ilmiah yang ada maka kita akan sampai kepada kesimpulan : Bentuk
pendidikan manakah yang akan menghasilkan prestasi belajar IPA di SD yang lebih
baik ? Argumentasi manakah yang dapat kita kemukakan untuk menjelaskan hal itu
?
Kesimpulan
tersebut di atas disebut hipotesis yang secara susah payah kita turunkan dari
pengetahuan ilmiah yang ada. Jadi tidak benar kalau ada orang yang menganggap
bahwa seorang peneliti ilmiah boleh mengajukan hipotesis secara asal – asalan.
Seperti diketahui pada hakekatnya metode ilmiah yang dapat disimpulkan ke dalam
dua langkah utama yakni, pertama, pengajuan hipotesis merupakan acuan
kerangka teoritis yang secara deduktif dijalin dari pengetahuan yang dapat
diandalkan dan, kedua, pengumpulan
data secara empiris untuk menguji apakah apakah kenyataan sebenarnya mendukung
atau menolak hipotesis tersebut. Semboyan ilmiah pada hakekatnya adalah sebuah
kalimat yang berbunyi : Yakinkan secara logis dengan kerangka teoritis
ilmiah dan buktikan se cara empiris dengan pengumpulan fakta yang
relevan. Jadi pada hakekatnya
seorang ilmuan boleh tidak menerima hasil penelitian seorang, apapun
juga hasilnya, sekiranya kerangka teoritis dalam pengajuan hipotesis, baginya
tidak meyakinkan. Tahap pembuktian empiris hanyalah sekedar tahap lanjutan dari
tahap pengajuan hipotesis dilakukan secara eksperimen dengan kemmpuan untuk
mengontrol semua variabel dalam laboratorium maka tidak terlalu sukar untuk
menafsirkan kesimpulan pengujian. Meskipun demikian ternyata bahwa hipotesis
yang diajukan ditolak dan fakta menunjukan hubungan konseptual yang berbeda
maka kemampuan untuk mengontrol variabel - variabel yang terlibat dalam gejala
memberikan kita landasan yang kuat untuk mampu mengidentifikasih hubungan sebab
akibat yang nyata. Namun bagaimana
dengan ilmu – ilmu sosial dimana hubungan antara variabel itu sangat kompleks
dan disertai dengan ketidak mampuan untuk mengontrol seluruh variabel tersebut
dalam eksperimen kita ? Apalagi, tentunya
metode penelitian yang mempergunakan data yang yang telah ada seperti
survey, dimana data secara statitis bisa menunjukan korelasi yang nyata padahal
secara konseptual tidak mempunyai hubungan kausalita.
Agar sebuah
kerangka teoritis dapat disebut meyakinkan maka argumentasi yang disusun
tersebut harus memenuhi beberapa syarat. Pertama, teori – teori yang
dipergunakan dalam membangun kerangka berpikir tersebut harus merupakan pilihan
dari sejumlah teori yang dikuasai secarah lengkap dengan mencakup perkembangan
– perkembangan terbaru. Seperti diketahui dalam sebuah disiplin keilmuan kadang
– kadang terdapat lebih dari satu pendekatan yang tercermin dalam berbagai
teori dalam mendekati persoalan yang sama. Dalam masalah mengenai manajemen
misalnya, paling tidak dikenal tiga pendekatan yang kemudian bermacam – macam
teori yakni pendekatan structural/fungsional, teknik/management science dan
prilaku/behavioural. Sifat menyeluruh berarti, bahwa dalam kasus seperti
manajemen ini, kita harus mengetahui tiga pendekatan yang dipergunakan dalam
analisis manajemen. Sekiranya kemudian kita akan memilih salah satu saja dari
ketiga pendekatan ini sebagai dasar argumentasi teoritis, hal ini tidak menjadi
soal asalkan kita dapat menjelaskan mengapa kita melakukan pilihan tersebut.
Demikian juga kita sekiranya terdapat beberapa aliran dalam sebuah pendekatan
maka harus dikemukakan alasan mengapa kita memilih aliran tertentu dan tidak
aliran yang lain.
Disamping itu
kita harus sadari bahwa ilmu berkembang dengan cepat dan sebuah teori yang
bersifat efektif pada suatu saat mungkin ditinggalkan pada suatu saat. Oleh
sebab itu maka pengetahuan yang mengenai teori – teori yang akan di pergunakan
harus sudah mencakup perkembangan – perkembangan terbaru dalam bidangnya. Hal
ini akan memungkinkan kita untuk berargumentasi berdasarkan teori – teori yang
pada waktu itu dianggap paling representatif. Mungkin saja kita berhasil
menyusun suatu kerangka argumentasi yang sangat meyakinkan dalam pengajuan
hipotesis, namun sekiranya argumentasi itu di dasarkan pada teori – teori yang
sudah dianggap kuno, maka sukar bagi kita meyakinkan seorang ilmuan dari bidang
yang menjadi bidangnya.
Lingkup yang
sifat menyeluruh dalam mencakup perkembangan – perkembangan terbaru dalam suatu
disiplin keilmuan biasanya disebut the state of the art dari disiplin tersebut.
Untuk dapat menyusun kerangka teoritis yang meyakinkan maka pertama – tama
seorang ilmuan diminta mendemonstrasikan pengetahuannya mengenai the state
of the art dari disiplin keilmuan
yang dipergunakan sebagai basis analisis dalam pengajuan hipotesisnya. Seperti
disebutkan dahulu maka berdasarkan pengetahuan tentang the state of the art
tersebut kita harus memilih teori – teori mana saja yang akan dipergunakan
dalam analisis kita. Pemilihan ini harus didasarkan pada argumentasi yang
meyakinkan tentang mengapa kita melakukan pilihan tersebut. Hal ini membawah
kita bukan saja kepada pengetahuan teknis tentang teori tertentu melainkan juga
pengetahuan filsafati yang melandasi teori itu.
Pengatahuan
filsafati tentang suatu teori adalah pengetahuan tentang pikiran – pikiranb
dasar yang melandasi teori tersebut dalam bentuk postulat. Asumsi, atau prinsip
yang sering kurang mendapatkan perhatian dalam proses belajar mengajar. Pada
hal untuk melakukan seleksi terhadap teori mana yang akan dipilih sebagai alat
analisis maka seorang ilmuan harus mampu mengadakan evaluasi terhadap
teori-teori yang ada dimana focus utama sering diletakan pada pikiran-pikiran dasar tersebut. Pendidkan
pasca sarjana ditujukan untuk mengembangkan pengetahuan bukan saja secara horizontal
dalam bentuk akumulasi pengetahuan yang bersifat teknis namun sekaligus
pengembangan pengetahuan secara fertikal dalam bentuk analisis, yang bersifat
filsafati.
Perkuliahan
fasca sarja pada hakekatnya paling tidak harus mencakup beberapa hal, mengkaji The
state of The art dari suatun
disiplin keilmuwan yang mencakup seluruh perkembangan teori ke ilmuwan sampai
sekarang. Kedua , Analisis filsafati dari teori-teori keilmuwan
yang difokuskan kepada cara berpikir keilmuan yang mendasari pengetahuan tersebut
dengan pembahasan secara ekslusif mengenai postulat, asumsi dan prinsip yang
mendasarinya. Ketiga Mampu
mengidentifikasi masalah yang timbul sekitar disiplin keilmuan tersebut.
Seorang
peneliti yang harus menguasai teori-teori ilmiah sebagai dasar bagi argumentasi
kita dalam menyusun kerangka berpikir yang membuahkan hipotesis. Kerangka
berpikir ini merupakan penjelasan sementara terhadap gejala obyek permasalahan
kita. Kerangka pemikiran yang berupa penjelasan sementara in merupakan argumen
kita dalam merumuskan hipotesis yang merupakan jawaban sementara terhadap
permasalahan yang diajukan. Dalam studi perbandingan antara pendidikan formal
dan non formal, umpanya sekiranya kita menduga bahwa prestasi belajar IPA dalam
pendidikan formal akan lebih baik dari pada pendidikan non formal, maka alas an
untuk dugaan tersebut harus terdapat dalam kerangka pemikiran, yang juga
seperti unsur-unsur kegiatan keilmuan lainnya dituntut berbagai persyaratan
agar meyakinkan criteria utama agar suatu kerangka pemikiran bisa meyakinkan
sesama ilmuwan adalah alur-alur pikiran yang logis dalam membangun suatu
kerangka berpikir yang membuahkan kesimpulan yang berupa hipotesis. Sering kita
melihat dalam tesis atau desertasi bahwa banyak sekali kajian pustaka yang
berbentuk teori-teori namun sayaangnya teori-teori ini hanya berfungsi sebagai
pajangan belaka. Teori-teori ini sama sekali tidak dipergunakan sebagai premis
dalam kerangka berpikir secara logis melainkan diletakan begitu saja secara
sporadic. Teori-teori ini yang seharusnya merupan landasan yang kuku dalam
membangun kerangka berpikir yang utuh ternyata sekedar merupakan bahan bahan
yang berserakan. Kurangnya pengetahuan si peneliti tentang fungsi teori dalam
penyusunan kerangka berpikir inilah merupakan kajian pustaka menjadi sering
tidak efektif. Ilmu masyarakat bahwa pengetahuan ilmiah yang baru harus
bersifat konsisten dengan pengetahuan ilmiah sebelumnya. Sekiranya hipotesis
yang kita ajukan ternyata kemudian didukung fakta maka hipotesis yang merupakan
jawaban sementara itu lalu secara sah diterima sebagai pengetahuan ilmiah. Agar
pengetahuan ilmiah ini bersifat konsisten dengan pengetahuan–pengetahuan ilmiah
sebelumnya maka hal ini harus tercermin dalam sturuktur logika berpikir dalam
menarik kesimpulan. Untuk itu harus dipenuhi dua syarat yakni, pertama
mempergunakan premis-premis yang benar. Kedua mempergunakan cara penarikan
kesimpulan yang sah. Pada hakekatnya kerangka berpikir dalam pengajuan
hipotesis didasarkan pada argumentasi berpikir deduktif dengan mempergunakan
pengetahuan ilmiah sebagai premis-premis dasarnya.
Menggunakan
pengetahuan ilmiah sebagai premis dasar dalam kerangka argumentasi akan
menjamin dua hal, pertama karena kebenaran pernyataan ilmiah telah
teruji lewat proses keilmuan maka kita merasa yakin bahwa kesimpulan yang
ditarik merupakan jawaban yang terandalkan. Kedua, Dengan menggunakan
pernyataan secara sah diakui sebagai pengetahuan ilmiah maka pengetahuan baru yang ditarik secara deduktif akan
bersifat konsisten dengan tubuh pengetahuan yang disusun.
Kalau dalam
proses pengajuan hipotesis kita dituntut untuk melakukan penarikan kesimpulan
secara deduktif maka dalam proses verifikasih kita dituntut untuk melakukan
penarikan kesimpulan secara induktif. Proses verifikasi ditujukan kepada upaya
untuk menarik kesimpulan yang bersifat umum dari fakta – fakta yang bersifat
individual. Dalam verifikasi hipotesis kita mengenai prestasi belajar IPA murid
SD pada pendidikan formal dan nonformal, maka tujuan proses verifikasi adalah
menyimpulkan dari serangkaian data mengenai prestasi individu murid SD yang
terdaftar dalam kedua bentuk pendidikan tersebut dan menyimpulkan prestasi
mereka secara umum. Masalah yang dihadapi dalam proses verifikasi adalah
bagaimana cara dan prosdur dalam pengumpulan dan menganalisis data agar
kesimpulan yang ditarik dapat memenuhi
persyaratan berpikir induktif. Penetapan prosedur dan cara ini disebut
Metodologi penelitian.
Metodologi
penelitian adalah pengetahuan tentang metode – metode, jadi metodologi penelitian adalah pengtahuan
tentang berbagai metode yang dipergunakan dalam penelitian. Salah satu metode
yang harus di tentukan dalam metodologi penelitian ini adalah metode
penelitian. Setiap penelitian pada hakikatnya mempunyai metode penelitian
masing – masing dan metode penelitian tersebut ditetapkan berdasarkan tujuan
peneltitian. Oleh sebab itu maka kegiatan pertama dalam penyusunan metodologi
penelitian adalah menyatakan secara lengkap dan operasional tujuan penelitian
yang mencakup bukan saja variabel – variabel yang diteliti dan karakteristik
hubungan yang akan diuji melainkan sekaligus juga tingkat keumuman ( level of
generally ) dari kesimpulan yang akan ditarik seperti tempat, waktu,
kelembagaan dan sebagainya. Berdasarkan tujuan penelitian ini maka kita akan
dapat memilih metode penelitian yang tepat beserta teknik pengambilan contoh
dan teknik penarikan kesimpulan yang relevan. Metode adalah prosedur atau cara
yang ditempuh dalam mencapai suatu tujuan tertentu sedangkan teknik adalah cara
yang spesifik dalam memecahkan masalah tertentu yang ditemui dalam melaksanakan
prosedur. Jadi sebuah metode penelitian mencakup beberapa teknik yang termasuk
didalamnya, umpamanya teknik pengambilan contoh, teknik pengukuran, teknik
pengumpulan data dan teknik analisis data.
Pada
hakikatnya proses verifikasi adalah mengumpulkan dan menganalisis data dimana
kesimpulan yang ditarik kemudian dibandingkan dengan hipotesisi untuk
menentukan apakah hipotesis tersebut di tolak atau diterima pada saat diajukan.
Dengan demikian maka teknik – teknik yang
tergabung dalam metode penelitian harus dipilih yang bersifat cocok
dengan perumusan hipotesis. Seperti disampaikan terdahulu maka umpamanya
terdapat teknik analisa statistika berbeda dalam hal menemukan perbedaan antara
dua variabel ( X ≠ Y ) dengan membandingkan kedua variabel untuk menemukan
variabel yang lebih superior ( X>Y ). Sekiranya hipotesis kita menyatakan
bahwa “Tidak terdapat perbedaan prestasi IPA di SD antara pendidikan formal dan
non formal” maka teknis analisa data atau lebih atau lebih tepat lagi rumus
statistika yang digunakan dalam pengajuan hipotesisnya akan berbeda dengan
hipotesis yang menyatakan bahwa “ Prstasi belajar IPA di SD pada pendidikan
formal adalah lebih baik dari pada pendidikan nonformal”. Oleh karena itu maka
dalam teknis analisis data sering dinyatakan secara tersurat pengajuan
hipotesis yang dinyatakan dalam pernyataan statistis dengan menuliskan bersama
– sama baik hipotesis nol ( H0 ) maupun hgipotesis tandingan ( H1
) beserta rumus statistikanya ( sekiranya mempergunakan statistika ) yang
dipergunakan. Pengajuan hipotesis dalam kerangka teoritis cukup diekspresikan
dengan hipotesis konseptual ( penelitian ) yang
dinyatakan dalam bentuk non statistika.
Dalam teknik
pengunpulan data harus dinyatakan variabel yang akan dikumpulkan, sumber data
darimana keterangan mengenai variabel tersebut didapatkan. Demikian juga halnya
yang menyangkut teknik pengukuran, instrumen pengukuran, dan teknik mengaptkan
data ( umpamanya dengan cara interview ). Sekiranya pengumpulan data memerlukan
instrumen tertentu maka instrumen yang dipergunakan harus diuji dahulu sebelum
dipergunakan. Pada pokoknya sebuah instrumen harus teruji mengenai keabsahan
dan keandalannya.
Secara ringkas langkah –
langkah dalam penyusunan metodologi penelitian mencakup kegiatan – kegiatan
berikut :
Ø Tujuan penelitian secara
lengkap dan operasional dalam bentuk pernyataan yang mengidentifikasikan
variabel – variabel dan karakteristik hubungan yang akan diteliti.
Ø Tempat dan waktu
penelitian dimana akan dilakukan generalisasi mengenai variabel yang diteliti.
Ø Metode penelitian yang
ditetapkan berdasarkan tujuan penelitian dan tingkat generalisasi yang
diharapkan.
Ø Teknik pengambilan contoh
yang relevan dengan tujuan penelitian, tingkat keumuman dan metode penelitian.
Ø Teknik pengumpulan data
yang mencakup identifikasi variabel yang akan dikumpulkan, sumber data, teknik
pengukuran, instrumen dan teknik mendapatkan data.
Ø Teknik analisis data yang
mencakup langkah – langkah dan teknik analisis yang dipergunakan yang
ditetapkan berdasarkan pengajuan hipotesis nol dan hipoteisi tandingan.
HASIL
PENELITIAN
Setelah
perumusan masalah, pengajuan hipotesis dan penetapan metodologi penelitian maka
sampailah kita kepada langkah berikutnya yakni melaporkan apa yang kita temukan
berdasarkan hasil penelitian. Sebaiknya bagian ini betul – betul dipergunakan
untuk menganalisis data yang tealh dikumpulkan selama penelitian untuk menarik
kesimpulan penelitian. Deskripsi tentang langkah dan cara pengolahan data
sebaiknya sudah diletakan dalam metodologi penelitian.
Dalam membahas
hasil penelitian maka harus diingat bahwa tujuan kita adalah membandingkan
kesimpulan yang ditarik dari data yang di kumpulkan dengan hipotesis yang
diajukan. Secarah sistematis dan terarah maka data yang telah dikumpulkan
tersebut kita olah, deskripsikan, bandingkan dan evaluasi yang kesemuanya
diarahkan pada sebuah penarikan kesimpulan, apakah data tersebut menolak atau
menerima hipotesis yang diajukan. Pada hakikatnya sebuah hipotesis yang
diterima atau ditolak melainkan diperlengkapi dengan evaluasi mengenai
kesimpulan tersebut. Mungkin saja sebuah hipotesis dikonfirmasikan oleh data
yang telah berhasil dikumpulkan namun mungkin juga evaluasi kita mengenai
prosedur dan pelaksanaan survey atau eksperimen yang telah dilakukan,
menyebabkan kita harus agak berhati – hati dalam menafsirkan. Sebuah pernyataan
ilmiah yang baik selalu mengandung tingkat kepercayaan yang dimiliki pernyataan
tersebut. Tingkat kepercayaan ini bukan hanya pernyataan statistis yang secara
tersurat dinyatakan dalam analisis statistika melainkan juga mencakup evaluasi
secara keseluruhan mengenai prosedur dan pelaksanaan penelitian.
Untuk
melaporkan hasil penelitian maka secara singkat dan kronologis yang pertama
adalah diberikan deskripsi tentang variabel yang diteliti yang diusul dengan
teknik analisis yang dipergunakan. Kemudian dilaporkan hasil pengukuran
dilengkapi dengan kesimpulan analisis dari data yang telah dikumpulkan. Laporan
ini ditulis dalam bentuk essai dengan
kalimat – kalimat verbal yang mencakup semua pernyataan yang sepatutnya
dikemukakan baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif. Penulisan data
mentah dalam laporan penelitian itu harus dihindari. Deskripsi dalam bnetuk
essai yang diperlengkapi dengan sarana pembantu misalnya grafik, tabel atau
bagan yang berfungsi untuk lebih menjelaskan penjelasan yang terkandung dalam
esai sebaiknya di hindari karena sarana – sarana visual tersebut tidak lagi
bersifat membantu, melainkan sudah menggantikan proposisi – proposisi verbal
yang seharusnya ada.
Langkah
berikutnya adalah memberikan penafsiran terhadap kesimpulan analisis data.
Kemudian hasil penafsiran ini dibandingkan dengan hipotesis tersebut ditolak
atau diterima. Secara singkat maka hasil penelitian dapat dilaporkan dalam
kegiatan sebagai berikut :
1.
Menyatakan
variabel – variabel yang diteliti.
2.
Menyatakan
teknik analisis data.
3.
Mendiskripsikan
teknik analisis.
4.
Memberikan
penafsiran terhadap kesimpulan analisis data.
5.
Menyimpulkan
pengujian hipotesis apakah ditolak atau diterima.
Langkah-langkah dalam penulisan ilmiah ini dapat dijadikan
sebagai kerangka pembahasan yang lebih mendalam mengenai filsafat ilmu. Dalam
penetapan masalah maka pembahasannya dapat dikaitkan dengan obyek penelitian
ilmiah yang dibatasi oleh jangkauan pengalaman empiris serta kajian metafisis
yang bertujuan untuk menggali hakikat realitas yang bersifat sebagaimana
adanya. Sedangkan proses penyusunan hipotesis dan pengujian secara empiris
dapat dikaitkan dengan epistemologi keilmuan dimana pembahasan dipusatkan pada
metode ilmiah dengan berbagai aspek pemikiran yang mendasarinya seperti sumber
pengetahuan, kriteria kebenaran, cara penarikan kesimpulan menurut logika
tertentu dan
sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA
Suriasumantri, Jujun. Filsafat Ilmu.
Sebuah Pengantar Populer. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta. 2005
Mudyahardjo, Redja. Filsafat Ilmu
Pendidikan. PT Remaja Rosdakarya. Bandung. 2002
M. Budianto, Irmayanti. Realitas dan
Objektivitas. Wedatama Widya Sastra. Jakarta. 2002
STRUKTUR PENELITIAN DAN PENULISAN ILMIAH
OLEH :
1.
Iman
Nurjaman ( TP )
2.
Yusri
Kinur ( PEP )
3.
Lusi
( PEP )
4.
Upi
( TP )
Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta
2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar