Sarana Berpikir Ilmiah
Sarana merupakan alat yang membantu kita dalam mencapai suatu tujuan tertentu, oleh karena itu dalam berbagai hal kita akan selalu membutuhkan sarana, begitu pula dalam berpikir. Berpikir adalah suatu proses pengolahan data yang dilakukan di dalam otak. Manusia merupakan mahluk yang dilengkapi Allah sarana berpikir. Sebenarnya, setiap orang memiliki tingkat kemampuan berpikir yang seringkali ia sendiri tidak menyadarinya. Ketika mulai menggunakan kemampuan berpikir tersebut, fakta-fakta yang sampai sekarang tidak mampu diketahuinya, lambat-laun mulai terbuka di hadapannya. Semakin dalam ia berpikir, semakin bertambahlah kemampuan berpikirnya dan hal ini mungkin sekali berlaku bagi setiap orang. Harus disadari bahwa tiap orang mempunyai kebutuhan untuk berpikir serta menggunakan akalnya semaksimal mungkin.
II. BAHASA DAN PERKEMBANGANNYA
1. Beberapa Teori Tradisional
Aspek bahasa yang paling banyak
dipertentangkan hingga hasil studinya pun paling tidak memuaskan, karena para
penyelidik sulit mencapai kesepakatan tunggal ialah asal bahasa, bagaimana mulai asal bahasa. Ada tersedia beberapa teori tentang asal bahasa, ada
yang lucu, ada yang aneh, ada yang berbau ilmiah. Pada tahun 1866, masyarakat
Linguistik Perancis melarang mendiskusikan asal bahasa karena itu hanya
spekulasi yang ternyata tiada artinya.
Penyelidikan
antropologi telah membuktikan bahwa kebanyakan kebudayaan primitif meyakini
keterlibatan Tuhan, Dewa dalam permulaan sejarah berbahasa. Tuhanlah yang mengajarkan
Nabi Adam nama-nama sebagaimana dalam kitab Kejadian sebagai berikut:
“And Lord God having formed out
of the ground all the beasts of the earth, and all the fowls of the air,
brought them to Adam to see what he called them; for whatsoever Adam called any
living creature the same is it is name”.
Sebelum abad ke 18 teori-teori asal
bahasa dikategorikan sebagai divine
theory (berdasarkan kedewaan/kepercayaan).
Pada abad ke-17, Andreas Kemke,
seorang ahli filologi dari Swedia menyatakan di surga Tuhan berbicara dalam
bahasa Swedia, Nabi Adam berbahasa Denmark, sedangkan naga berbahasa Perancis.
Kaisar Cina pun T’ien-tzu, anak Tuhan, katanya
mengajarkan bahasa pertama pada manusia.
Pada bagian akhir abad ke-18 spekulasi asal usul bahasa
berpindah dari wawasan-wawasan keagamaan, mistik dan takhayul ke alam baru yang
disebut dengan organic phase. Pertama
dengan terbitnya Uber den Ursprung der Sprache (on the origin of language) pada
tahun 1772, karya Johann Gottfried Von Herder (1744-1803),[1]
yang mengemukakan bahwa bahasa tidaklah tepat mengatakan bahasa sebagai anugrah
Ilahi. Menurut pendapatnya: bahasa lahir karena dorongan manusia untuk mencoba-coba
berpikir. Bahasa
adalah akibat hentakan yang secara insting,
seperti halnya janin dalam proses kelahiran.
Teori ini bersamaan dengan mulai timbulnya teori evolusi manusia yang
diprakarsai oleh Immanuel Kant (1724-18040 yang kemudian disusul oleh Charles
Darwin.
Max Müler (1823-1900) memperkenalkan Dingdong theory atau disebut juga nativistic theory. Teorinya sedikit sejalan dengan yang diajukan
Socrates bahwa bahasa lahir secara alamiah. Menurut teori ini manusia memiliki
kemampuan insting yang istimewa untuk mengeluarkan ekspresi ujaran bagi setiap
kesan (yang berarti stimulus) dari luar. Kesan yang diterima lewat indera,
bagaikan pukulan pada bel hingga melahirkan ucapan yang sesuai. Kurang lebih
ada empat ratus bunyi pokok yang membentuk bahasa pertama ini. Sewaktu orang
primitif dahulu melihat seekor serigala, pandangannya ini menggetarkan bel yang
ada pada dirinya secara insting sehingga terucapkanlah kata “wolf” (serigala). Müler pada
akhirnya menolak teorinya sendiri.
Teori lain yaitu teori Yo-he-ho.
Teori ini menyimpulkan bahwa bahasa pertama lahir dalam satu kegiatan sosial. Sekelompok
orang primitif dahulu bekerja sama. Seperti
kalau kita mengangkat kayu, kita secara spontan bersama mengeluarkan
ucapan-ucapan tertentu karena terdorong gerakan otot. Demikian juga orang
primitif jaman dahulu, sewaktu bekerja tadi, pita suara mereka bergetar lalu
terlahirkan ucapan –ucapan khusus untuk setiap tindakan.
Teori yang agak bertahan adalah Bow-wow theory, disebut juga Onomatopoetic
atau Echoic theory. Menurut teori
ini kata-kata yang pertama kali ada adalah tiruan terhadap bunyi alami seperti:
nyanyian burung, suara binatang, suara guntur ,
hujan, angin, sungai, ombak samuderea dan sebagainya. Max Müler dengan
sarkastik mengomentarinya bahwa teori ini hanya berlaku bagi kokok ayam, dan
bunyi itik padahal kegiatan bahasa lebih banyak terjadi diluar kandang ternak.
Teori lainnya disebut Gesture
theory, yang mengatakan bahwa isyarat mendahului ujaran. Para
pendukung teori ini menunjukkan penggunaan isyarat oleh berbagai jenis
binatang, dan juga sistem isyarat yang dipakai oleh orang-orang primitif. Jadi
menurut teori ini bahasa lahir dari
isyarat-isyarat yang bermakna. Menurut Darwin, walaupun isyarat itu bisa
digunakan dalam berkomunikasi, dalam beberapa hal isyarat itu tidak dapat
dipakai, umpamanya orang tidak bisa berisyarat di tempat gelap, atau kalau
kedua tangan sibuk membawa sesuatu, atau kalau lawan berkomunikasi tidak
melihat isyarat. Dalam keadaan demikian orang primitif harus berkomunikasi dengan
isyarat lisan. Dari sinilah bahasa lisan mulai berkembang.[2]
2. Pendekatan Modern
Manusia ini tercipta dengan
perlengkapan fisik yang sangat sempurna hingga memungkinkan terlahirnya ujaran
(kemampuan berbahasa). Namun ujaran bukan
hanya karena kerja organ-organ fisik tadi. Dalam proses ujaran faktor-faktor
psikologis pun ada terlibat, misalnya kesan-kesan orang terhadap sesuatu mesti
diungkapkan dengan simbol vokal, hingga terucapkan kata-kata, umpamanya: bahaya,
ngeri, dingin, menenggelamkan, hanyut dan lain-lain.
Dari contoh-contoh diatas Fred West
menyimpulkan bahwa:
“Speech
as language, is the result of man’s ability to see phenomena symbolically and
of the necessity to express his symbols” (“ujaran, seperti halnya bahasa,
adalah hasil kemampuan manusia untuk melihat gejala--gejala sebagai
simbol-simbol dan keinginannya untuk mengungkapkan simbol-simbol itu”).
Kini para ahli antropologi
menyimpulkan bahwa manusia dan bahasa berkembang bersama.
Otto Jespersen (1860-1943) melihat
adanya persamaan perkembangan antara bahasa bayi dan bahasa manusia pertama
dahulu. Bahasa manusia
pertama hampir tak punya arti, seperti lagu saja sebagaimana ucapan-ucapan
bayi. Lama kelamaan ucapan-ucapan tadi berkembang manuju kesempurnaan.
Kalau
ada persoalan lain. Apakah bahasa itu lahir karena keinginan berkomunikasi
dengan anggota masyarakat sosial lain atau karena dorongan individu, yaitu
faktor psikologis diatas?[3]
APAKAH BAHASA ITU?
Yang
dimaksud dengan bahasa ialah lambang bunyi yang arbitrer yang dipergunakan olah
para anggota kelompok sosial untuk bekerja sama, berkomuinikasi dan
mengidentifikankan diri.
Definisi tersebut diatas perlu
diperjelas dan diperinci sebagai berikut:
Pertama, bahasa adalah sebuah sistem, artinya bahasa itu
bukanlah sejumlah unsur yang terkumpul secara tak keruan. Jadi bahasa itu sistematis, artinya bahasa
itu dapat diuraikan atas satuan-satuan terbatas yang berkombinasi dengan
kaidah-kaidah yang dapat diramalkan; disamping itu bahasa bukan sistem yang
tunggal, melainkan terdiri dari beberapa subsistem, yakni fonologi, subsistem
gramatika dan subsistem leksikon.
Kedua bahasa itu sebuah sistem lambang. Yang dimaksud
dengan lambang ialah tanda yang dipergunakan oleh suatu kelompok sosial
berdasarkan perjanjian, dan untuk memahaminya harus dipelajari. Tanda adalah
hal atau benda yang mewakili sesuatu, atau hal yang menimbulkan reaksi yang
sama bila orang menganggap (melihat, mendengar, dan sebagainya) yang
diwakilinya itu. Jadi lambang adalah sejenis tanda.
Ketiga,
karena merupakan lambang dan mewakili sesuatu, bahasa itu bermakna, artinya
bahasa itu berkaitan dengan segala aspek kehidupan dan alam sekitar masyarakat
yang memakainya.
Keempat,
bahasa itu sistem bunyi. Apa yang kita kenal sebagai tulisan artinya sekunder,
karena manusia dapat berbahasa tanpa mengenal tulisan. Beberapa jenis huruf
bahkan tidak lain daripada turunan belaka dari bunyi.
Kelima,
bahasa bersifat arbitrer, artinya tak ada hubungan wajib antara satuan-satuan
bahasa dengan yang dilambangkannya. Kita tidak bisa menjawab mengapa sesuatu
benda dinamai pohon, sedangkan oleh
kelompok sosial lain disebut wit, atau syajar atau arbre. Walaupun ada unsur
bahasa yang tidak terlalu arbiter yang masih sesuai dengan apa yang
dilambangkan, seperti kokok, geram, gemerincing, dan lain-lain.
Keenam, bahasa itu bersifat
produktif, artinya sebagai sistem dari unsur-unsur yang jumlahnya terbatas
dapat dipakai secara tidak terbatas oleh pemakainya. .
Ketujuh, bahasa bersifat unik, dalam arti tiap bahasa
mempunyai sistem yang khas yang tidak harus ada dalam bahasa lain.
Kedelapan, kebalikannya, ada pula sifat-sifat bahasa yang
dipunyai oleh bahasa lain, sehingga sifat-sifat itu ada yang universal, ada
yang hampir universal.
Kesembilan, karena bahasa itu dipakai oleh kelompok manusia
untuk bekerja sama dan berkomunikasi, dan karena kelompok manusia itu banyak
ragamnya – terdiri dari laki-laki, perempuan, tua, muda; ada orang tani, ada
orang kota, dan lain-lain, yang berinteraksi dalam pelbagai lapangan
kehiudupan, dan mempergunakan bahasa untuk keperluan- bahasa itu mempunyai
variasi-variasi.
Kesepuluh, dengan bahasa suatu kelompok sosial juga
mengidentifikasikan dirinya. Kenyataan bahwa bahasa adalah lambang sosial
hanyalah mengukuhkan yang telah lama – entah selama beberapa abad dikenal orang
Melayu dengan pepatah “Bahasa menunjukkan Bangsa”.[4]
Sedangkan menurut Wikipedia Indonesia , definisi bahasa dari
beberapa segi adalah sebagai berikut:[5]
1. Satu
sistem, untuk mewakili benda, tindakan, gagasan dan keadaan.
2. Satu
peralatan yang digunakan untuk menyampaikan konsep riil mereka kedalam pikiran
orang lain.
3. Satu
kesatuan sistem makna
4. Satu
kode yang digunakan oleh pakar linguistik untuk membedakan antara bentuk dan
makna.
5. Satu
ucapan yang menepati tata bahasa yang telah ditetapkan (contoh: perkataan,
kalimat dan lain-lain).
6. Satu
sistem tuturan yang akan dpart dipahami oleh masyarakat linguistik.
Bahasa pada hakikatnya mempunyai dua
fungsi utama yaitu, pertama sebagai sarana komunikasi antar manusia dan kedua
sebagai sarana budaya yang dapat mempersatukan kelompok manusia yang
menggunakan bahasa tersebut.
Salah
satu tokoh yang mengemukakan teori tentang bahasa sebagai alat komunikasi
adalah Roman Ocipovic Jakobson. Menurut Jakobson, bahasa sebagai alat (organon)
khususnya sebagai alat komunikasi memerlukan enam elemen yang saling
membutuhkan. Ke-enam elemen tersebut adalah sebagai berikut :
- Message
Message adalah pesan yang disampaikan
- Emetteur
Emetteur adalah pengirim atau pihak yang mengirim pesan
- Recepteur.
Récepteur adalah pihak yang menerima pesan.
Pihak yang saling berkomunikasi ( emetteur dan
recepteur) disebut juga sebagai
interloceteur
- Contact
Untuk terjadi komunikasi di antara keduanya, maka harus
ada hubungan yang dilakukan, yang disebut contact, contact dapat diartikan
sebagai sarana agar pesan (message) yang ingin disampaikan pengirim kepada
penerima dapat ditransmisikan.
- Code
Code adalah sarana agar pesan tertransmisikan secara baik
dan dapat saling dimengerti, code harus dapat dimengerti oleh kedua pihak. Kode
bisa berupa bahasa lisan, tulisan, dan berupa bahasa isyarat. Orang yang
mengirim kode disebut encoder dan orang yang menerima atau yang memecahkan kode
disebut dengan decoder.
- Référent
Référent adalah acuan dari yang dimaksudkan oleh kode.
Masing-masing unsur komunikasi tersebut dalam prakteknya
saling berhubungan satu sama lain, namun pun demikian menurut Jakobson dalam
satu peristiwa komunikasi kemungkinan muncul satu atau lebih unsur yang dianggap
dominan. Dominasi itulah kemudian yang melahirkan fungsi-fungsi bahasa dalam
berkomunikasi. Fungsi-fungsi tersebut antara lain:
- Fungsi
bahasa ekspresif
Yaitu jika peristiwa komunikasi didominasi oleh emetteur
(pengirim). Fungsi bahasa ini akan muncul ketika pengirim banyak menceritakan
tentang dirinya, mengemukakan pendapatnya dan mengutarakan pandangannya kepada
penerima.
- Fungsi
impresif atau konatif
Yaitu jika peristiwa komunikasi didominasi oleh adanya
harapan agar si penerima pesan berubah atau melakukan sesuatu setelah
komunikasi terjadi. Fungsi bahasa ini muncul jika dalam komunikasi terdapat
kalimat perintah dan kalimat yang bersifat memberi saran kepada si penerima.
- Fungsi
referentif
Yaitu jika peristiwa komunikasi
banyak diisi oleh informasi tentang acuan. Fungsi bahasa ini muncul bila
komunikasi bersifat menjelaskan sebuah peristiwa dan keadaan.
- Fungsi
bahasa fatik
Jika penekanan komunikasi lebih diarahkan pada bagaimana
sebuah komunikasi dibangun, maka hal tersebut memunculkan, biasa juga disebut
fungsi sosial. Fungsi bahasa ini muncul ketika pengirim ingin memulai
komunikasi, menjaga alur komunikasi dan juga untuk memutuskan komunikasi.
- Fungsi
bahasa metalinguistik
Yaitu jika komunikasi membahas tentang penggunaan bahasa
sebagai contoh dalam menjelaskan secara khusus makna sebuah kata.
- Fungsi
bahasa puitik
Jika yang ditekankan adalah bentuk dari pesan yang ingin
disampaikan maka muncul misalnya pada puisi dan karya sastra lainnya.
Bahasa sebagai salah satu identitas, di mana bahasa bisa
menjadi identitas kolektif etnik, tetapi bahasa bisa juga menjadi identitas
yang lebih luas dari etnik yaitu bangsa. Ciri yang menonjol dari identitas bangsa Indonesia
tercermin dari adanya bahasa persatuan yaitu bahasa Indonesia. Walaupun
dalam perkembangannya secara historis bahasa Indonesia yang baru muncul pada
tahun 1928 dalam peristiwa Sumpah Pemuda kemudian mendapat beragam pengaruh
kosa kata dari berbagai bahasa, akan tetapi bahasa Indonesia memiliki akar
tradisi etnik yaitu bahasa Melayu
Fenomena ini berbeda misalnya dengan Philipina yang
memiliki 2 bahasa nasional yaitu bahasa Tagalog dan bahasa Inggris (Amerika),
atau India yang bahasa nasionalnya adalah bahasa Inggris, atau Negara Aljazair
yang bahasa nasionalnya bahasa Prancis, atau Singapura yang bahasa nasionalnya
bahasa Inggris dan meninggalkan bahasa nenek moyangnya yaitu bahasa Melayu.
Akar budaya kaum kolonial yang tercermin di dalam bahasanya itulah kemudian
yang menjiwai negara-negara tersebut di muka yang telah mengadopsi bahasa bekas
negara penjajahnya untuk dijadikan bahasa persatuan sebagai perekat etnik.
Bahasa Indonesia tentu saja memiliki karakter khusus
karena dia berakar dari tradisi etnik lokal yang kemudian dimodifikasi dan
diadopsi menjadi bahasa persatuan yang berfungsi sebagai perekat keberagaman
etnik. Bahasa Indonesia bersifat fleksibel dan ini tampak dalam berbagai dialek
misalnya bahasa Indonesia dialek Betawi, dialek Sulawesi Selatan, dialek
Palembang, dialek Papua dll. Menurut Ferdinand de Saussure hal ini adalah aspek parole dari bahasa.
Bahasa Indonesia baku
(ejaan yang disempurnakan / EYD) dalam konteks Saussurian disebut sebagai aspek
langue. Langue-lah yang menjadi titik tekan kajian ilmu linguistik, langue
merupakan fakta sosial yang artinya dia menjadi milik kolektif sistem dan
berada di atas fakta individu. Parole
adalah fakta individu.
Bahasa Indonesia berfungsi
sebagai bahasa resmi kenegaraan, bahasa persatuan, sekaligus menjadi identitas
bangsa Indonesia. Apabila Bahasa Indonesia sebagai unsur dari sistem negara
pada suatu saat tidak mampu memberikan fungsinya sebagai bahasa resmi
kenegaraan, bahasa persatuan, atau identitas bangsa maka akan terbayangkan
adanya kegoncangan sistem sosial-budaya. Dalam peristiwa kenegaraan pasti akan
terjadi kekacauan karena tidak ada bahasa kenegaraan. Semua orang akan
membenarkan bahasa yang mereka gunakan sesuai etnisnya walau masing-masing
berbeda bahasa. Tidak akan ada bahasa persatuan yang menjadi bahasa pengantar
bagi masyarakat Indonesia yang memiliki latar belakang etnis dan bahasa
beraneka macam. Tidak akan ada bahasa yang dijadikan identitas kebersamaan
bahwa semua unsur itu menjadi bagian dari sistem yang bernama negara Indonesia.
Inilah yang disebut sebagai disintegrasi atau distabilitas sistem negara.
Dengan mengutip pandangan dari de
Saussure yang mengatakan bahwa, "de Saussure menarik garis tajam antara la
langue dengan la parole. Bahasa (la langue) bersifat universal, sedangkan
proses tuturan (la parole) sebagai proses temporal dan bersifat individual.
Setiap individu memiliki gaya bahasa sendiri. Akan tetapi dalam analisis ilmiah
tentang bahasa, kita mengabaikan perbedaan-perbedaan individual itu, kita
menelaah fakta sosial yang mengikuti kaidah-kaidah umum yaitu kaidah-kaidah yang
tidak tergantung kepada si penutur individual. Tanpa kaidah-kaidah umum seperti
itu maka bahasa tidak akan dapat menunaikan tugas utamanya, bahasa tidak dapat
dipakai sebagai media komunikasi di antara anggota-anggota masyarakatnya".
Dari kutipan ini terlihat bahwa la langue yang memiliki kaidah-kaidah umum
adalah fakta sosial, yang posisinya lebih tinggi dari fakta individu, bahwa
"Di antara etnis dan langue terjadi hubungan timbal balik. Hubungan sosial
cenderung menciptakan adanya masyarakat bahasa dan kemungkinan mencetak
ciri-ciri tertentu pada la langue yang dipakai. Sebaliknya, masyarakat
bahasalah yang dalam batas-batas tertentu juga bisa membentuk satuan etnis.
Pada umumnya satuan etnis cukup menjelaskan tentang masyarakat bahasa".
Dari kutipan tersebut, terlihat bahwa bahasa adalah ciri yang menonjol dan
mudah diamati dari suatu masyarakat.
Bahasa tertentu identik dengan
masyarakat tertentu, misalnya bahasa Bali identik dengan etnis Bali atau bahasa
Bugis akan identik dengan etnis Bugis. Jadi bahasa mampu menciptakan etnis.
Begitu juga sebaliknya ternyata bahasa itu menjadi ada karena diciptakan oleh
suatu etnis. Misalnya bahasa Indonesia itu menjadi ada karena diciptakan oleh
masyarakat Indonesia, walau fondasinya adalah bahasa Melayu akan tetapi dua
bahasa itu kemudian memiliki perbedaan-perbedaan. Fenomena inilah yang biasa
disebut sebagai bahasa dan dinamika masyarakat. Bisa juga dikatakan bahwa
bahasa sebenarnya adalah dinamika masyarakat itu sendiri.
Sekilas perkembangan
kesusasteraan dalam kebudayaan Indonesia
Dari jaman purba telah sampai kepada
kita sejumlah besar hasil kesusasteraan (lebih dari 1000 buah naskah), yang
dapat memberi gambaran tentang betapa tinggi nya seni sastra dewasa itu. Tidak
termasuk kesusasteraan ialah prasasti-prasasti, baik yang dari batu maupun yang
dari logam, meskipun diantaranya ada yang digubah dalam bahasa yang sangat
indah dan dalam bentuk syair yang betul-betul berupa sastra.
Menurut waktu perkembangannya,
kesusasteraan jaman purba itu dapat dibagi menjadi kesusasteraan: jaman Mataram
(sekitar abad 9 dan 10), jaman Kediri
(sekitar abad 11 dan 12), jaman Majapahit I (sekitar abad 14) dan jaman
Majapahit II (sekitar abad 15 dan 16).
Adanya dua jaman Majapahit itu berdasarkan atas bahasa yang dipakai. Sampai dengan
jaman Majapahit I bahasanya adalah bahasa Jawa kuno, dan sesudah itu adalah
bahasa Jawa tengahan. Termasuk jaman Majapahit II juga adalah hasil-hasil
kesusasteraan yang berkembang di Bali (jaman
kerajaan Samprangan-Gelgel).
Ditinjau dari sudut isinya, maka
kesusasteraan purba itu terdiri atas; tutur (kitab keagamaan, seperti Sang
Hyang Kamahayanikan), castra (kitab-kitab hokum), wiracarita (cerita
kepahlawanan, seperti Mahabrata), kitab-kitab cerita lainnya yang isinya
mengenai keagamaan atau kesusilaan dan kitab-kitab yang dimaksud sebagai uraian
sejarah (misalnya Nagarakertagama).
Selain hasil kesusasteraan di atas
yang menjadi hasil-hasil kebudayaan Indonesia, masih banyak hasil
kebudayaan-kebudayaan lain yang berkembang seperti seni lukis, tari-tarian,
gamelan, wayang dll, dimana tahapan-tahapan perubahan kebudayaan dari masa ke
masa lainnya memiliki ciri, corak dan sifatnya masing-masing. Terlihat juga
bahwa bahasa merupakan sesuatu yang penting dalam tahapan perubahan kebudayaan
tersebut. [6]
Bahasa sebagai sarana berpikir ilmiah
Keunikan manusia sebenarnya bukanlah
terletak dari kemampuan berpikirnya melainkan terletak pada kemampuannya
berbahasa. Dalam hal ini maka Ernst Cassier menyebut manusia sebagai Animal
symbolicum, makhluk yang mempergunakan symbol, yang secara generic
mempunyai cakupan yang lebih luas dari pada Homo sapiens yakni makhluk
yang berpikir, sebab dalam berpikirnya manusia mempergunakan simbol.
Dapat dibayangkan, jika manusia tidak
memiliki kemampuan berbahasa, maka kegiatan berpikir secara sistematis dan
teratur (ilmiah) tidak mungkin dapat dilakukan.
Manusia dapat berpikir dengan baik karena dia
mempunyai bahasa. Tanpa bahasa maka manusia tidak dapat berpikir secara rumit
dan abstrak seperti apa yang dilakukan dalam kegiatan ilmiah. Binatang
tidak diberkahi bahasa yang sempurna sebagaimana yang manusia miliki, oleh
sebab itu binatang tidak dapat berpikir dengan baik dan mengakumulasikan
pengetahuannya lewat proses komunikasi seperti manusia mengembangkan ilmu.
Bahasa memungkinkan manusia berpikir
secara abstrak dimana obyek-obyek faktual ditransformasikan sebagai
simbol-simbol bahasa yang bersifat abstrak. Dengan adanya transformasi ini maka
manusia dapat berpikir mengenai suatu obyek tertentu meskipun obyek tersebut
secara faktual menjadi simbol abstrak yang diwujudkan lewat perbendaharaan
kata-kata ini, dirangkaikan oleh tata bahasa untuk mengemukakan suatu jalan
pemikiran atau ekspresi perasaan. Kedua aspek bahasa ini yakni aspek informatif
dan emotif keduanya tercermin dalam bahasa yang kita pergunakan. Artinya, kalau
kita berbicara maka pada hakikatnya informasi yang kita sampaikan mengandung
unsur-unsur emotif. Demikian juga kalau kita menyampaikan perasaan maka
ekspresi itu mengandung unsur-unsur informatif. [7]
Berpikir ilmiah menurut S.D.
Schafersman adalah ketika seseorang menggunakan metode ilmiah dalam mempelajari
atau menggali alam semesta. Tentunya seluruh ilmuwan pasti berpikir ilmiah
karena mereka memang mempelajari alam
dan menggali semesta ini dengan menggunakan metode ilmiah. Tetapi berpikir
ilmiah bukan hanya dilakukan oleh ilmuwan. Setiap orang dapat “berpikir seperti
ilmuwan” dengan menggunakan metode ilmiah atau yang paling penting menerapkan konsep-konsepnya dalam mempelajari dan
menggali alam ini.[8]
Namun dalam berpikir ilmiah yang
dieskpresikan dalam bentuk metode ilmiah ini penting bukan saja dalam proses
penemuan pengetahuan, namun lebih penting lagi dalam mengkomunikasikan
penelitian ilmiah tersebut kepada masyarakat ilmuwan.
Menurut Jacob Bronowski, metode
ilmiah yang merupakan metode yang digunakan dalam berpikir ilmiah bersifat
sistematik dan eksplisit. Sifat eksplisit ini memungkinkan terjadinya
komunikasi yang intensif dalam kalangan masyarakat ilmuwan. Ilmu ditemukan
secara individual namun dimanfaatkan
secara sosial. Karakteristik ini mengharuskan seorang ilmuwan untuk menguasai
sarana komunikasi ilmiah dengan baik yang memungkinkan komunikasi eksplisit antar
ilmuwan secara intensif.[9]
Menurut Howard F. Fehr terdapat dua aspek
dalam komunikasi, yaitu estetik dan bersifat mengemukakan kenyataan. Bahasa
sebagai alat kenikmatan, untuk tujuan-tujuan estetis, berfungsi sebagai alat
kegiatan dengan membawa pembaca untuk membangun gambaran yang dapat dinikmati
oleh dirinya sendiri. Tidak terdapat kebutuhan komunikasi seperti ini untuk
hubungan yang sangat tepat antara pengertian si pengarang dan si pembaca.
Dalam membaca untuk mendapatkan
pengertian si penulis, terdapat tujuan intelektual dan bukan tujuan estetik.
Dalam komunikasi pemikiran keilmuan/ilmiah maka tujuan intelektual adalah
satu-satunya tujuan yang diinginkan. Sehingga dapat dikatakan bahwa komunikasi
ilmiah adalah komunikasi logis. Tiap teori keilmuan adalah suatu sistem kalimat
yang dianggap benar dan biasa disebut hukum atau pernyataan. [10]
Seperti juga yang dikatakan oleh Kneller, bahasa dalam
kehidupan manusia mempunyai fungsi simbolik, emotif dan afektif. Fungsi
simbolik dari bahasa menonjol dalam komunikasi ilmiah sedangkan fungsi emotif
menonjol dalam komunikasi estetik. Komunikasi dengan mempergunakan bahasa akan
mengandung unsur simbolik dan emotif ini.
Komunikasi ilmiah bertujuan untuk
menyampaikan informasi yang berupa pengetahuan. Oleh sebab itu, proses
komunikasi ilmiah itu harus terbebas dari unsur emotif, agar pesan yang
disampaikan bisa diterima secara reproduktif, artinya identik dengan pesan yang
dikirimkan. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya salah informasi.,
yakni suatu proses komunikasi yang mengakibatkan penyampaian informasi tidak
sesuai dengan apa yang dimaksudkan, dimana suatu informasi yang berbeda akan
menghasilkan proses berpikir yang berbeda pula. Maka proses komunikasi ilmiah
harus bersifat jelas dan obyektif yakni terbebas dari unsur-unsur
emotif.
Berbahasa dengan jelas
artinya adalah bahwa makna yang terkandung dalam kata-kata yang dipergunakan
diungkapkan secara eksplisit untuk mencegah pemberikan makna yang lain. Oleh
sebab itu maka dalam komunikasi ilmiah sering kali ditemukan definisi dari
kata-kata yang dipergunakan (glossary).
Berbahasa dengan jelas artinya juga mengemukakan pendapat atau jalan
pemikiran secara jelas. Kalimat-kalimat dalam sebuah karya ilmiah pada dasarnya
merupakan suatu pernyataan yang melambangkan suatu pengetahuan yang ingin kita
komunikasikan kepada orang lain. Sebagai contoh, kalimat seperti “Logam kalau
dipanaskan akan memanjang” pada hakikatnya merupakan suatu pernyataan yang
mengandung pengetahuan tentang hubungan sebab akibat antara panjang logam dan
kenaikan suhu.
Sedangkan
berbahasa secara obyektif artinya tanpa mengandung emosi atau sikap atau
dengan perkataan lain bahasa ilmiah haruslah bersifat antiseptik dan
reproduktif.
Karya ilmiah pada dasarnya
merupakan kumpulan pernyataan yang mengemukakan informasi tentang pengetahuan
maupun jalan pemikiran dalam mendapatkan pengetahuan itu. Untuk mampu
mengkomunikasikan suatu pernyataan dengan jelas maka seseorang harus menguasai
tata bahasa yang baik. Tata bahasa menurut Charlton Laird, merupakan alat dalam
mempergunakan aspek logis dan kreatif dari pikiran untuk mengungkapkan arti dan
emosi dengan menggunakan aturan-aturan tertentu. Penguasaan tata bahasa yang
baik merupakan syarat mutlak bagi suatu komunikasi ilmiah yang benar.
Karya ilmiah juga mempunyai gaya
penulisan yang pada hakikatnya merupakan usaha untuk mencoba menghindari
kecenderungan yang bersifat emosional bagi kegiatan seni namun merupakan
kerugian bagi kegiatan ilmiah. Oleh sebab itu gaya penulisan ilmiah, dimana
tercakup di dalamnya penggunaan tata bahasa dan kata-kata, harus diusahakan
sedemikian mungkin untuk menekan unsur-unsur emotif ini seminimal mungkin. Di
samping itu karya ilmiah mempunyai format-format penulisan tertentu seperti
cara meletakkan catatan kaki atau menyertakan daftar bacaan. Kesemuanya ini
harus dikuasai dengan baik oleh seorang ilmuwan agar dapat berkomunikasi dengan
sesama kaum ilmuwan secara benar.[11]
Kelemahan bahasa dalam
komunikasi ilmiah
Sebagai sarana komunikasi ilmiah maka
bahasa mempunyai beberapa kekurangan. Kekurangan ini pada hakikatnya terletak
pada peranan bahasa itu sendiri sebagai sarana komunikasi emotif, afektif dan
simbolik. Adapun kelemahan bahasa dalam komunikasi ilmiah adalah sebagai berikut;
1.
Pada kenyataannya bahasa verbal mau tidak mau tetap
mengandung ketiga unsur yang bersifat emotif, afektif dan simbolik tadi,
sedangkan dalam komunikasi ilmiah sebaiknya kita mengkomunikasikan informasi
tanpa kaitan emotif dan afektif.
2.
Arti kata-kata yang kurang jelas dan eksak yang membangun
suatu bahasa. Sebagai contoh adalah kata yang mungkin termasuk paling popular
dalam perbendaharaan bahasa Indonesia yakni “cinta”. Kata cinta ini sering
dipakai dalam lingkup yang sangat luas, umpamanya dalam hubungan orangtua dan
anak, kakek dan nenek, dua orang kekasih, perasaan pada tanah air atau ikatan
kemanusiaan yang besar. Sukar bagi kita untuk membuat batasan yang tepat dan
bersifat menyeluruh.
3. Sifat majemuk (pluralistik) dari bahasa. Sebuah kata kadang-kadang
mempunyai lebih dari arti kata yang berbeda. Disamping itu bahasa mempunyai
beberapa kata yang memberikan arti kata yang sama. Sifat majemuk ini sering
menimbulkan apa yang dinamakan kekacauan semantik, dimana dua orang yang
berkomunikasi mempergunakan sebuah kata yang sama namun untuk pengertian yang
berbeda, atau sebaliknya.
4.
Bahasa sering bersifat berputar-putar (sirkular) dalam
mempergunakan kata-kata, terutama dalam memberikan definisi. Contohnya kata
“data” yang diartikan sebgai “bahan yang diolah menjadi informasi”, sedangkan
“informasi” diartikan sebagai “keterangan yang didapat dari data”.Tak dapat
dihindari bahwa dalam memberikan definisi maka sebuah kata tergantung pada
kata-kata yang lain.
5.
Konotasi yang bersifat emosional, seperti yang sudah
dibicarakan sebelumnya
DAFTAR PUSTAKA
A. Chaedar Alwasilah, Linguistik
Suatu Pengantar, (Bandung, Angkasa, 1983)
Djoko Kentjono, Dasar-dasar Linguistik Umum,
(Depok, Fakultas Sastra UI, 1997)
http://www.id.wikipedia.org/wiki/Bahasa
http://www/freeinquiry.com/intro-to-sci.html
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat
Ilmu, (Jakarta ,
Pustaka Sinar Harapan, 2003)
Jujun S. Suriasumantri, Ilmu dalam Persfektif Sebuah Kumpulan Karangan tentang Hakekat Ilmu,
(Jakarta , Yayasan Obor Indonesia ,
2003)
R. Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia
2, (Yogyakarta, Kanisius, 1973)
[2] A.Chaedar
Alwasilah, Linguistik Suatu Pengantar, (Bandung:
Angkasa, 1983), h.1-4.
[4] Djoko
Kentjono, Dasar-dasar Linguistik Umum,(Depok:Fakultas Sastra UI, 1997), h.1-4.
[6] R.
Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan
Indonesia, (Yogya: Kanisius, 1973), h.104-105
[7] Jujun, op. cit., h. 171-173
[8]
http://www/freeinquiry.com/intro-to-sci.html
[9] Ibid,
h.131
[10] Jujun S.
Suriasumatri, Ilmu dalam Persfektif, (Jakarta ,
Yayasan Obor Indonesia ,
2003), h. 218
[11] Jujun. op. cit., 181-182
[12] Ibid,
h.182-187
Tidak ada komentar:
Posting Komentar