Kamis, 22 November 2012

Guru sebagai Pembentuk Karakter

Pendidikan karakter merupakan salah satu tujuan pendidikan nasional. UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3, yang menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokrasi serta bertanggung jawab.
            Berdasarkan hal tersebut diatas, pendidikan tidak hanya transfer knowledge dan membangun siswa yang cerdas tetapi menghasilkan siswa yang berkepribadian dan berkarakter serta berperilaku baik. Sekolah sebagai lembaga formal yang mempunyai tugas mewujudkan tujuan pendidikan nasional mempunyai peran yang sangat penting.
            Banyaknya permasalahan-permasalahan yang muncul dikalangan pelajar dan masyarakat merupakan ekses dari kurangnya pendidikan yang menyentuh aspek karakter siswa. Menurut KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) sejak 1 januari 2012 - 26 September 2012 sudah ada 17 anak yang meninggal karena tawuran. Jumlah ini meningkat dari tahun sebelumnya yang berjumlah 12 anak, sedangkan Komisi Nasional Anak mencatat sudah ada kenaikan sejak 6 bulan pertama di tahun 2012, sampai bulan Juni sudah terjadi 139 tawuran, 12 kasus menyebabkan kematian. Sementara 2011 sudah terjadi 339  kasus tawuran menyebabkan 82 anak meninggal dunia.  (http://metro.news.viva.co.id/news/read/354946-sederet-tawuran-pelajar-di-jabodetabek-sejak-awal-2012).
Belum lagi kasus tawuran di masyarakat yaitu di Lampung yang menyebabkan 6 orang meninggal dunia. (http://nasional.kompas.com/read/2012/10/28/14501116/Salah.Satu.dari.3.Korban.Tewas.Sempat.Dirawat.di.RS)
            Dan masih banyak catatan-catatan mengenai berbagai permasalahan yang terjadi baik di kalangan pelajar, masyarakat bahkan di negara ini yang mencerminkan akibat pendidikan yang tidak mengedepankan karakter. Theodore Roosevelt mengatakan :" To educate a person in mind and not a morals is to educate menace to society" (Mendidik seseorang dalam aspek kecerdasan otak dan bukan dalam aspek moral adalah ancaman marabahaya bagi masyarakat).
            Hasil penelitian yang dilakukan oleh Dr. Marvin Berkowitz dari University of Missouri St. Louis memperkuat pendapat Theodore Roosevelt. Dalam penelitian tersebut di nyatakan bahwa terjadi peningkatan motivasi siswa dalam meraih prestasi akademik pada sekolah-sekolah yang menerapkan pendidikan karakter. Kelas-kelas yang secara komprehensif menerapkan pendidikan karakter menunjukkan penurunan drastis pada perilaku negatif siswa yang dapat menghambat prestasi akademik siswa.
            Saya mempunyai cerita menarik mengenai salah satu karakter siswa kelas 7 SMP Labschool Kebayoran, ketika kegiatan sehabis lari pagi, tepatnya tanggal 2 november 2012 beberapa siswi SMP mendatangi saya dan berkata bahwa bahwa ia telah menemukan uang sebesar Rp 50 ribu dibawah tangga. Salah seorang anak menceritakan ketika ia akan naik tangga ia melihat uang Rp 50 ribu itu ada di lantai. Pada saat bersamaan, ada beberapa siswa SMA yang kebetulan melewati uang tersebut. Spontan anak tersebut memanggil dan mengatakan bahwa uang kakak-kakak SMA terjatuh tapi ternyata siswa SMA tersebut tidak merasa bahwa itu uang mereka. Akhirnya karena siswa SMA tersebut tidak mengakuinya maka anak tersebut berinisiatif mengambilnya dan melaporkannya pada saya.
            Disaat yang sama anak tersebut mengatakan bahwa sebenarnya ia sudah kehilangan uang 50 ribu tetapi ia tidak tahu hilangnya dimana. Anak tersebut tidak berani mengakui bahwa uang yang ditemukannya adalah uang dia karena anak tersebut tidak mengetahui kapan dan dimana uangnya hilang. Pada saat itu, hal yang langsung terbersit di dalam pikiran saya adalah betapa jujurnya anak ini. Anak tersebut bisa saja mengakui bahwa uang yang ditemukannya adalah uangnya yang hilang tetapi ia tidak melakukannya. Ia lebih memilih melaporkan uang yang ditemukannya kepada saya. Sungguh saya merasa bangga mempunyai siswa yang memiliki kejujuran seperti itu. Mengutip dari Mario Teguh dalam acara Golden Ways yang mengatakan bahwa orang yang berani tidak jujur 1 rupiah maka ia akan bisa tidak jujur 1 milyar.
            Dari contoh diatas, saya menarik kesimpulan (walaupun mungkin terlalu dini) bahwa anak ini sudah mempunyai karakter jujur. Pertanyaannya adalah kapan atau bagaimana karakter jujur itu terbentuk. Saya meyakini bahwa karakter jujur tersebut sudah terbentuk dari sebelumnya. Dan pembentukan karakter jujur tersebut terbentuk bukan hanya karena sekolah tetapi juga ada kesinambungan dengan pendidikan di rumah.
            Pembentukan karakter bukan hanya mentransfer pengetahuannya saja tetapi juga menanamkan nilainya. Pembentukan karakter meliputi Olah Hati (Spiritual and Emotional Development), Olah Pikir (intelectual development), Olah Raga dan Kinestetik  (Physical and Kinestetic development), dan Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creativity development). Pendidikan karakter yang dapat meliputi itu semua, selain melalui proses transfer pengetahuan dari karakter tersebut, harus diperkuat dengan proses penyadaran, pembiasan dan disiplin. Siswa tidak hanya mengetahui tetapi juga menanamkan nilainya dan melakukannya dalam kehidupan sehari-hari.    
            Penyadaran menurut saya adalah anak memahami nilai-nilai yang terkandung dalam karakter tersebut. Penyadaran dapat di lakukan dengan "kesengajaan yang tidak disengaja", maksudnya adalah guru dan orang tua mengatur secara sengaja tetapi dibuat seakan-akan tidak disengaja, misalnya untuk membentuk karakter jujur, guru atau orang tua secara sengaja meletakkan di tempat-tempat tertentu. Orang tua dan guru dapat melihat kejujuran siswa ketika menemukan uang yang kita letakkan. Pendidikan nilai-nilai karakter agar masuk sampai tahap internalisasi dan tindakan nyata maka selanjutnya seperti pembiasaan dan pendisiplinan harus dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Disini peran orang tua dan guru harus selalu memberikan contoh dari karakter yang kita ingin tanamkan pada diri siswa.
            Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (stakeholders) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah
            Guru menjadi ujung tombak dalam proses penerapan nilai-nilai karakter yang akan ditanamkan pada siswa di sekolah. Guru yang diartikan gugu dan di tiru memililki makna yang sangat dalam. Pengertian tersebut menyatakan bahwa guru bukan hanya sebagai pengajar yang mentransfer pengetahuan tetapi peran guru saat ini lebih sebagai pembentuk karakter. 
            Guru sebagai pembentuk karakter berarti guru tidak hanya merencanakan berbagai kegiatan yang dapat membentuk karakter siswa. Guru sendiri harus menjadi model dan contoh nyata bagi siswa mengenai berbagai karakter yang ingin dibentuk. Pendidikan adalah pembentukan karakter dan bukan hanya upaya transfer knowledge walaupun terkadang masyarakat lebih menghargai keberhasilan sekolah ketika sekolah menghasilkan siswa-siswa yang bisa menghasilkan prestasi akademik. Pendidikan bukan upaya sekali jadi dan dalam waktu yang singkat dan pendidikan bukan pula menjadi tanggung jawab sekolah semata, tetapi juga tanggung jawab orangtua, masyarakat dan pemerintah.
            Kriteria terbentuknya pendidikan karakter adalah terciptanya budaya sekolah, yaitu nilai-nilai yang melandasi perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang dipraktikkan oleh semua warga sekolah, dan masyarakat sekitar sekolah, seperti perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang dipraktikkan oleh semua warga sekolah. Budaya sekolah merupakan ciri khas, karakter atau watak, dan citra sekolah tersebut di mata masyarakat luas. Dengan demikian pendidikan karakter dimulai dari perilaku individu yang kemudian menyebar menjadi perilaku warga sekolah yang pada akhirnya menjadi budaya sekolah. Artinya budaya sekolah terbentuk apabila semua warga sekolah sudah melakukan apa yang menjadi karakter sekolah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar