Kamis, 22 November 2012

Disiplin, Kunci Pembentukan Karakter Guru dan Siswa


Suatu pagi ketika jam sudah menunjukkan 7.10 datanglah satu anak dengan terburu-buru. BN OSIS segera mencatat keterlambatannya. Setelah dicatat oleh BN OSIS selanjutnya di tulis oleh guru piket. Setelah melaporkan nama dan kelas serta menjelaskan alasannya, guru piket mengecek sudah berapa kali siswa tersebut terlambat, apabila terlambatnya 1 kali maka siswa tersebut diijinkan masuk langsung, 2 kali terlambat diijinkan masuk setelah istirahat pertama yaitu jam 10.15, kalau 3 kali terlambat maka di ijinkan masuk setelah istirahat ke dua yaitu jam 12.00, apabila sudah 4 kali terlambat maka siswa tersebut harus di pulangkan tetapi setelah orang tua tersebut dihubungi dan orang tuanya menjemput ke sekolah. Tugas siswa sebelum diijinkan masuk adalah meminta tugas pada guru mata pelajaran yang mengajar di kelasnya. Belum selesai dengan siswa tersebut, datang siswa lain yang juga terlambat. Prosedur yang sama pun dilakukan pada siswa tersebut. Demikian prosedur yang dilakukan untuk menangani siswa-siswi yang terlambat di SMP Labschool Kebayoran. Setiap hari ada saja siswa yang terlambat
            Permasalahan terlambat tidak hanya terjadi pada siswa saja tetapi juga di terjadi pada guru. Guru seringkali datang terlambat, karena tingginya tingkat keterlambatan itu maka hal itu menjadi perhatian BPS sebagai pengelola Labschool. Pada saat itu BPS berencana akan memotong gaji guru dan pegawai yang datang terlambat, walaupun pada akhirnya kebijakan tersebut tidak jadi dilakukan dan diganti dengan kebijakan yang lebih humanis dengan melakukan teguran kepada guru dan pegawai oleh pimpinan unit masing-masing. Apabila  tidak ada perubahan maka pembinaan akan dilakukan oleh BPS secara langsung.
  Perhatian yang besar BPS terhadap keterlambatan yang dilakukan guru sangatlah beralasan. Apabila kita belajar dari negara-negara Asia yang dikategorikan sebagai macan asia seperti Singapura, Cina, Korea Selatan dan Jepang. Salah satu kunci keberhasilan negara mereka adalah disiplin. Disiplin sudah menjadi karakter pribadi dan karakter bangsa. Artinya apabila kita ingin mencontoh menjadi seperti itu maka kita harus  mengawali satu langkah untuk mencapai keberhasilan yaitu disiplin.
Hal yang harus dipelajari  adalah bagaimana karakter tersebut dapat terbentuk pada negara-negara tersebut diatas. Pembentukan karakter umumnya menjadi tanggungjawab sekolah sebagai lembaga formal. Sekolah dianggap sebagai bagian yang memberikan kontribusi sangat besar dalam membentuk karakter bangsa, walaupun pada kenyataannya pembentukan karakter terbentuk karena adanya kerjasama antara sekolah, keluarga dan masyarakat. Guru sebagai ujung tombak pendidikan menjadi bagian terpenting dalam proses pendidikan. Guru tidak hanya bertugas untuk mengajar dan mentransfer pengetahuan kepada siswa tetapi guru juga berperan sebagai pembentuk karakter.  Dalam pengertian sebagai pembentuk karakter maka guru harus memberikan contoh yang riil kepada siswa mengenai karakter yang akan dibentuk pada diri siswa. Oleh karena itu sangat beralasan ketika BPS ingin mendisiplinkan guru-guru dan pegawainya.   
Pembentukan karakter melalui proses penyadaran, pembiasaan dan pendisiplinan. Pembiasaan akan terjadi apabila kita melakukan tindakan secara terus menerus dan kita memiliki kedisiplinan untuk melakukan tindakan tersebut. Disiplin dalam pengertian ini adalah tidak hanya disiplin sebagai cara membentuk karakter tetapi juga disiplin sebagai karakter yang akan dibentuk.     
Keterlambatan hanya contoh kecil dari bentuk ketidak disiplinan seseorang.  Dalam proses pembelajaran ketidak disiplinan dapat dapat dilihat juga dari masuk dan keluar jam pelajaran tidak sesuai dengan waktunya, dikeluarkan dari kelas karena tidak mengerjakan dan mengumpulkan tugas sesuai dengan target yang sudah di tetapkan. Dalam kehidupan sosial, berlaku tanpa memperhatikan kepentingan dan hak orang lain. Dalam pekerjaan, melakukan kegiatan lain yang tidak ada hubungannya dengan tugas dan kewajibannya.
            Dalam konteks organisasi yaitu sekolah maka disiplin harus dijadikan sebagai suatu sistem. Ketika disiplin menjadi sebuah sistem maka semua orang yang masuk dalam sistem  akan berlaku sesuai dengan sistem yang berjalan. Dan ketika semua orang melakukan hal sama dan konsisten maka akan terbentuklah sebuah karakter disiplin. Dalam sudut pandang ini, menurut saya disiplin tidak bisa mengharapkan kesadaran personal individu tetapi perlu ada penekanan sehingga bisa dilakukan oleh semua orang. Untuk menunjang hal tersebut, maka diperkuat dengan aturan dan sarana pendukung. Kebijakan tentang adanya punishment berupa teguran, merupakan langkah awal yang sangat baik tetapi memang hal itu harus kuat dalam taraf implementasinya. Labschool sebagai lembaga yang memang mempunyai visi menghasilkan calon pemimpin masa depan harus lebih tegas dalam membuat aturan ini.  Perlu dipertimbangkan suatu sistem kehadiran yang terpusat dan sistem reward dan punishment yang lebih efektif dari aturan yang berlaku saat ini. Hal ini memang ditujukan untuk guru dan pegawai sehingga dapat memberikan contoh yang baik pada siswa. Sekali lagi, bahwa tugas guru bukan hanya sebagai orang yang mentransfer pengetahuan tetapi sebagai pembentuk karakter sehingga guru dan pegawai harus memberikan contoh yang dapat di ikuti oleh semua siswa. Oleh karena itu perlu adanya aturan dan penanganan yang sama disemua unit untuk  membangun karakter disiplin.
Dalam pembentukan karakter pada siswa, selain kegiatan yang bersifat mengenalkan disiplin seperti BIMENSI, sekolah perlu melakukan tindaklanjut dari hasil kegiatan tersebut. BIMENSI merupakan proses awal mengenal kedisiplinan tetapi untuk selanjutnya untuk membentuk karakter disiplin perlu diselaraskan dengan aturan-aturan yang sudah ada di sekolah. Artinya kedisiplinan yang dikenalkan dalam kegiatan BIMENSI tidak kemudian menghilang karena tidak selaras dengan aturan dan tata tertib di sekolah. Keselarasan juga dapat diartikan terjadi kesamaan penerapan aturan yang dilakukan oleh guru dan sekolah terhadap siswa. Jangan sampai ada guru yang tidak disukai oleh anak karena tegas dalam aturan dan ada guru yang disukai oleh anak karena guru tersebut permisif. Kedisiplinan harus ditegakkan dalam perspektif untuk membentuk karakter siswa. Disiplin diartikan tegas terhadap aturan yang berlaku. Oleh karena itu, apabila siswa melakukan tindakan yang tidak disiplin dalam proses pembelajaran maka guru tidak hanya memberikan sanksi terhadap tindakan yang sudah dilakukannya tetapi juga memberi pemahaman tentang tindakan yang salah yang sudah dilakukannya dan akibat dari tindakannya tersebut. Diharapkan dengan cara tersebut, siswa memahami konsekuensi logis dari setiap tindakannya dan tujuan diberikan sanksi tersebut. Disiplin tidak akan terbentuk hanya karena siswa takut akan punishment tetapi siswa akan disiplin ketika mereka mengetahui pentingnya disiplin dalam mencapai keberhasilan di masa depan.    

Guru sebagai Pembentuk Karakter

Pendidikan karakter merupakan salah satu tujuan pendidikan nasional. UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3, yang menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokrasi serta bertanggung jawab.
            Berdasarkan hal tersebut diatas, pendidikan tidak hanya transfer knowledge dan membangun siswa yang cerdas tetapi menghasilkan siswa yang berkepribadian dan berkarakter serta berperilaku baik. Sekolah sebagai lembaga formal yang mempunyai tugas mewujudkan tujuan pendidikan nasional mempunyai peran yang sangat penting.
            Banyaknya permasalahan-permasalahan yang muncul dikalangan pelajar dan masyarakat merupakan ekses dari kurangnya pendidikan yang menyentuh aspek karakter siswa. Menurut KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) sejak 1 januari 2012 - 26 September 2012 sudah ada 17 anak yang meninggal karena tawuran. Jumlah ini meningkat dari tahun sebelumnya yang berjumlah 12 anak, sedangkan Komisi Nasional Anak mencatat sudah ada kenaikan sejak 6 bulan pertama di tahun 2012, sampai bulan Juni sudah terjadi 139 tawuran, 12 kasus menyebabkan kematian. Sementara 2011 sudah terjadi 339  kasus tawuran menyebabkan 82 anak meninggal dunia.  (http://metro.news.viva.co.id/news/read/354946-sederet-tawuran-pelajar-di-jabodetabek-sejak-awal-2012).
Belum lagi kasus tawuran di masyarakat yaitu di Lampung yang menyebabkan 6 orang meninggal dunia. (http://nasional.kompas.com/read/2012/10/28/14501116/Salah.Satu.dari.3.Korban.Tewas.Sempat.Dirawat.di.RS)
            Dan masih banyak catatan-catatan mengenai berbagai permasalahan yang terjadi baik di kalangan pelajar, masyarakat bahkan di negara ini yang mencerminkan akibat pendidikan yang tidak mengedepankan karakter. Theodore Roosevelt mengatakan :" To educate a person in mind and not a morals is to educate menace to society" (Mendidik seseorang dalam aspek kecerdasan otak dan bukan dalam aspek moral adalah ancaman marabahaya bagi masyarakat).
            Hasil penelitian yang dilakukan oleh Dr. Marvin Berkowitz dari University of Missouri St. Louis memperkuat pendapat Theodore Roosevelt. Dalam penelitian tersebut di nyatakan bahwa terjadi peningkatan motivasi siswa dalam meraih prestasi akademik pada sekolah-sekolah yang menerapkan pendidikan karakter. Kelas-kelas yang secara komprehensif menerapkan pendidikan karakter menunjukkan penurunan drastis pada perilaku negatif siswa yang dapat menghambat prestasi akademik siswa.
            Saya mempunyai cerita menarik mengenai salah satu karakter siswa kelas 7 SMP Labschool Kebayoran, ketika kegiatan sehabis lari pagi, tepatnya tanggal 2 november 2012 beberapa siswi SMP mendatangi saya dan berkata bahwa bahwa ia telah menemukan uang sebesar Rp 50 ribu dibawah tangga. Salah seorang anak menceritakan ketika ia akan naik tangga ia melihat uang Rp 50 ribu itu ada di lantai. Pada saat bersamaan, ada beberapa siswa SMA yang kebetulan melewati uang tersebut. Spontan anak tersebut memanggil dan mengatakan bahwa uang kakak-kakak SMA terjatuh tapi ternyata siswa SMA tersebut tidak merasa bahwa itu uang mereka. Akhirnya karena siswa SMA tersebut tidak mengakuinya maka anak tersebut berinisiatif mengambilnya dan melaporkannya pada saya.
            Disaat yang sama anak tersebut mengatakan bahwa sebenarnya ia sudah kehilangan uang 50 ribu tetapi ia tidak tahu hilangnya dimana. Anak tersebut tidak berani mengakui bahwa uang yang ditemukannya adalah uang dia karena anak tersebut tidak mengetahui kapan dan dimana uangnya hilang. Pada saat itu, hal yang langsung terbersit di dalam pikiran saya adalah betapa jujurnya anak ini. Anak tersebut bisa saja mengakui bahwa uang yang ditemukannya adalah uangnya yang hilang tetapi ia tidak melakukannya. Ia lebih memilih melaporkan uang yang ditemukannya kepada saya. Sungguh saya merasa bangga mempunyai siswa yang memiliki kejujuran seperti itu. Mengutip dari Mario Teguh dalam acara Golden Ways yang mengatakan bahwa orang yang berani tidak jujur 1 rupiah maka ia akan bisa tidak jujur 1 milyar.
            Dari contoh diatas, saya menarik kesimpulan (walaupun mungkin terlalu dini) bahwa anak ini sudah mempunyai karakter jujur. Pertanyaannya adalah kapan atau bagaimana karakter jujur itu terbentuk. Saya meyakini bahwa karakter jujur tersebut sudah terbentuk dari sebelumnya. Dan pembentukan karakter jujur tersebut terbentuk bukan hanya karena sekolah tetapi juga ada kesinambungan dengan pendidikan di rumah.
            Pembentukan karakter bukan hanya mentransfer pengetahuannya saja tetapi juga menanamkan nilainya. Pembentukan karakter meliputi Olah Hati (Spiritual and Emotional Development), Olah Pikir (intelectual development), Olah Raga dan Kinestetik  (Physical and Kinestetic development), dan Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creativity development). Pendidikan karakter yang dapat meliputi itu semua, selain melalui proses transfer pengetahuan dari karakter tersebut, harus diperkuat dengan proses penyadaran, pembiasan dan disiplin. Siswa tidak hanya mengetahui tetapi juga menanamkan nilainya dan melakukannya dalam kehidupan sehari-hari.    
            Penyadaran menurut saya adalah anak memahami nilai-nilai yang terkandung dalam karakter tersebut. Penyadaran dapat di lakukan dengan "kesengajaan yang tidak disengaja", maksudnya adalah guru dan orang tua mengatur secara sengaja tetapi dibuat seakan-akan tidak disengaja, misalnya untuk membentuk karakter jujur, guru atau orang tua secara sengaja meletakkan di tempat-tempat tertentu. Orang tua dan guru dapat melihat kejujuran siswa ketika menemukan uang yang kita letakkan. Pendidikan nilai-nilai karakter agar masuk sampai tahap internalisasi dan tindakan nyata maka selanjutnya seperti pembiasaan dan pendisiplinan harus dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Disini peran orang tua dan guru harus selalu memberikan contoh dari karakter yang kita ingin tanamkan pada diri siswa.
            Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (stakeholders) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah
            Guru menjadi ujung tombak dalam proses penerapan nilai-nilai karakter yang akan ditanamkan pada siswa di sekolah. Guru yang diartikan gugu dan di tiru memililki makna yang sangat dalam. Pengertian tersebut menyatakan bahwa guru bukan hanya sebagai pengajar yang mentransfer pengetahuan tetapi peran guru saat ini lebih sebagai pembentuk karakter. 
            Guru sebagai pembentuk karakter berarti guru tidak hanya merencanakan berbagai kegiatan yang dapat membentuk karakter siswa. Guru sendiri harus menjadi model dan contoh nyata bagi siswa mengenai berbagai karakter yang ingin dibentuk. Pendidikan adalah pembentukan karakter dan bukan hanya upaya transfer knowledge walaupun terkadang masyarakat lebih menghargai keberhasilan sekolah ketika sekolah menghasilkan siswa-siswa yang bisa menghasilkan prestasi akademik. Pendidikan bukan upaya sekali jadi dan dalam waktu yang singkat dan pendidikan bukan pula menjadi tanggung jawab sekolah semata, tetapi juga tanggung jawab orangtua, masyarakat dan pemerintah.
            Kriteria terbentuknya pendidikan karakter adalah terciptanya budaya sekolah, yaitu nilai-nilai yang melandasi perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang dipraktikkan oleh semua warga sekolah, dan masyarakat sekitar sekolah, seperti perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang dipraktikkan oleh semua warga sekolah. Budaya sekolah merupakan ciri khas, karakter atau watak, dan citra sekolah tersebut di mata masyarakat luas. Dengan demikian pendidikan karakter dimulai dari perilaku individu yang kemudian menyebar menjadi perilaku warga sekolah yang pada akhirnya menjadi budaya sekolah. Artinya budaya sekolah terbentuk apabila semua warga sekolah sudah melakukan apa yang menjadi karakter sekolah.

Jumat, 02 November 2012

Kolam dan Raksasa

Jaman dahulu kala di sebuah hutan yang sunyi terdapat sebuah kolam yang sangat jernih..
Rindang dan lebatnya hutan membuat hutan ini tidak terjamah oleh siapapun. Sepanjang waktu kolam itu hanya di temani oleh kesunyian.
Semakin lama kolam itu merasa kesepian dan kemudian berdoa kepada Tuhan
" Ya Tuhan berikanlah aku seorang teman yang dapat menemani kehidupanku." doa sang kolam.
Setiap hari sang kolam memohon dan memohon kepada Tuhan hingga suatu waktu hari Tuhan mengabulkan doa sang kolam.

Tuhan mengabulkan doa sang kolam dan dikirimkanlah seorang raksasa yang menemani sang  kolam. Sang kolam sangat senang dengan kedatangan sang raksasa. Hilang sudah hari-hari sepi, berganti hari-hari yang ceria dan menyenangkan.

Hari demi hari mereka lewati dengan penuh kesenangan dan canda tawa. Sang raksasa pun senang berteman dengan sang kolam. Banyak hal yang mereka bagi bersama.
Perbedaan seperti nya tidak menjadi masalah buat mereka.
Tak terasa pertemanan mereka sudah berjalan dalam waktu yang cukup lama.

Hingga suatu waktu terjadi perbedaan pendapat antara mereka. Perbedaan yang biasanya bisa mereka selesaikan dalam waktu yang tidak terlalu lama tetapi tidak dengan yang terjadi pada saat itu. Perbedaan itu kemudian menjadi masalah serius yang semakin memperburuk hubungan mereka.

Sampai klimaksnya sang raksasa marah dan melemparkan batu besar kedalam sang kolam. Setelah melemparkan batu besar tersebut sang raksasa pun pergi meninggalkan sang kolam yang sangat marah dengan apa yang sudah dilakukan sang raksasa.
Sejak saat itu sang kolam bertekad untuk melupakan segala hal yang pernah terjadi antara ia dan sang raksasa.
Hal yang paling ingin sang  kolam hilang kan adalah batu yang sudah di lemparkan sang raksasa. Setiap hari sang kolam berusaha mengeluarkan batu tersebut dari dirinya. Semakin sang kolam mengeluarkan energi besar untuk mengeluarkan batu tersebut semakin keruh air nya. Ketika sang kolam berusaha melakukan lagi maka hasilnya sama yaitu semakin keruh air kolamnya.  Sampai pada akhirnya sang kolam merasa lelah dan berhenti untuk sementara. Keajaiban pun  terjadi, ketika sang kolam berhenti mengeluarkan batu dari dirinya, perlahan-lahan airnya kembali menjadi jernih.. kemudian secara perlahan-lahan pula mulai muncul tumbuhan di permukaan batu tersebut dan kemudian muncul ikan-ikan kecil yang hidup didalamnya. Mewarnai dan menemani kehidupannya menjadi lebih menyenangkan

Sang kolam pun tersadar, ternyata ketika ia berusaha mengeluarkan batu tersebut dari dirinya, bukan hasil yang diharapkan yang sang kolam dapatkan tetapi ketika sang kolam berusaha menerima keadaan yang ada sekarang dengan lebih ikhlas Tuhan mengganti dengan hal lain yang lebih baik.